Tuhan, cahaya kok nggak terang ?

Opini711 views

Cerpen Oleh : Ning Rahayu, S.Ik ( Pimpinan Penalutim Institut)

Penalutim.co.id, Jakarta – Gadis kecil yang hampir sempurna, hidup dalam kemiskinan dan terbilang penuh penderitaan. Terlahir dari  keluarga yang sangat sederhana. Sederhana dalam segala hal. Anak  bungsu dari tiga bersaudara.

Memiliki dua orang kakak perempuan. selisih umur mereke bertiga adalah empat tahun. Kakak  yang pertama tidak tinggal bersamanya, tetapi di desa dengan neneknya, dan faktor ekonomi yang serba  pas-pasan bahkan tak jarang kekurangan lah penyebabnya ia harus terpisah dengan salah satu anggota keluarganya.

Gadis kecil ini bernama Cahaya, dan biasa di panggil ‘AYA’ di keluarga, serta julukan ‘BULE’ di lingkungan tempat ia tinggal. Aya berambut pirang dan berkulit putih, juga merupakan anggota keluarga yang paling beda di keluarga Prasetya (nama ayah Cahaya), itu yang membuat Aya mendapat julukan ‘BULE’.

Kakak-kakanya berkulit sawo matang. Meski Aya bukan anak orang kaya,tetapi ibu Aya tidak pernah kumuh dalam mendandani anaknya. Bajunya memang murahan semua, tetapi selalu bagus di badan Aya. Mungkin karena kulitnya yang putih, jadi pakai baju apapun tampak menarik.

Aya selalu tampil bersih, tidak seperti teman-teman sebayanya yang berlumuran ingus dimana mana. Meski demikian, tetangganya sering menghindar dari keluarganya, lantaran keluarga Prasetya adalah keluarga termiskin di lingkungannya.

Seorang gadis periang dan cerewet. Namun tak jarang merasa minder dengan keadaan, sehingga membuatnya harus menjadi pribadi yang pendiam di masyarakat. Merasa dirinya tidak senyentrik teman-teman sebayanya. Merasa tidak mampu membeli mainan atau jajanan yang mahal, seperti yang di beli teman-temannya.

Rumah Aya terbilang gubuk di antara rumah-rumah menengah kebawah. Itu yang membuat Aya enggan bila mengajak teman-temannya bermain di rumahnya. Karena ia yakin teman-temannya tidak akan betah main di rumahnya.

Namun tidak di sangka Aya adalah seorang gadis kecil yang humoris di dalam keluarga. Tak jarang ia berlagak dan berceloteh layaknya para pelawak ketoprak humor di saat-saat keluarganya kumpul. Hanya itu yang bisa Aya lakukan ketika mendapati wajah ayah dan ibunya yang terlihat sangat lelah berjualan kue seharian, agar berubah menjadi wajah yang merah karena tertawa kegelian dengan ulahnya.

Kala senja tiba saat hujan membasahi bumi  dengan begitu arogannya. Tubuh mungil Aya kuyup dan menggigil sepulang dari pesantren yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya, tempat ia belajar mengaji. Usia Aya yang baru empat tahun, sudah jauh dari yang namanya bermanja-manja.

Ia tidak pernah mengeluh menghadapi persoalan yang menghambatnya mengaji. Karena kegembiraan Aya hanya tampak ketika ia sedang mengaji di pesantren. Meskipun paling muda di antara teman-teman sekelasnya di Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA), yang rata-rata berumur enam sampai delapan tahun, percaya diri Aya dalam hal prestasi tidak pernah terkalahkan oleh teman-temannya yang lebih tua.

Sesampainya di rumah, ibu Aya langsung tersentak melihat anaknya basah kuyup dan terlihat sangat kedinginan. “Astagfirullah.. ade ko basah-basahan?kenapa enggak neduh dulu? Ibu mau jemput tapi payungnya rusak, belum ada uang lebih buat betulin payung.”

Bibir Aya yang pucat kedinginan malah cengar cengir memandang wajah ibunya yang sangat mengkhawatirkannya. “Aya berangkat ngaji belum mandi bu, makanya pulangnya mandi hujan.” Celoteh Aya dengan polosnya, sembari menghibur ibunya yang tampak cemas. “Besok-besok kalau hujan, tunggu reda dulu baru pulang. Kalau enggak tunggu ibu atau ayah jemput.”

Pesan ibu sambil menghanduki kepala dan badan Aya yang basah. Dalam hati Aya berharap ibunya akan membelikan jas hujan bergambar kartun seperti yang di kenakan teman-temannya ketika pulang mengaji kehujanan.

Aya masuk kamar dan berbaring di tempat tidurnya yang hanya terdiri dari kasur kapas yang sudah sangat tipis karena lapuk dengan usia. Kamar Aya juga tidak ada pintu atau jendelanya. Atapnya pun kardus bekas, dan temboknya adalah teriplek.

Aya selalu tidur sendiri di kamar kesayangannya meski  kondisi kamarnya yang terbilang kurang layak, namun tetap berjuta kenyamanan ia rasakan. Kakak Aya adalah anak perempuan yang penakut dan sangat cengeng. 180 derajat perbedaannya dengan Aya. Ia selalu tidur dengan ibu dan ayahnya. Begitu pula dengan kakak pertamanya, cengeng, penakut dan sangat manja.

Aya punya hobi mengkhayal dan memikirkan berbagai hal. Dan kamarnyalah tempat hobi itu tersalurkan. Sekedar hanya memikirkan teman-temannya yang memiliki boneka baru, tas baru, baju model baru yang sedang trend. Berharap ibunya akan membelikan itu semua.

Tetapi mulut Aya selalu bungkam dan tidak pernah berani mengucap. Aya hanya diam jika menginginkan sesuatu. Karena Aya sadar jika ia merengek meminta mainan atau baju baru, hanya akan membuat wajah ibunya berubah seperti habis jatuh dari jetkoster.

Aya hanya bisa mengkhayal untuk memiliki itu semua. Namun lain hal dengan kakak-kakaknya yang selalu merengek jika menginginkan apa pun. Ayah dan ibunya selalu berusaha mengabulkan setiap permintaan kakaknya. Bagaimanapun caranya.

Kakak Aya akan jatuh sakit kalau permintaannya tidak di wujudkan oleh ayah dan ibunya. Itu adalah alasan ayah dan ibunya harus sebisa mungkin mengabulkan permintaan kakaknya. Bukan berarti orang tua Aya pilih kasih. Tetapi mereka tahu kapasitas anaknya.

Suatu ketika sedang gempar-gemparnya film anak-anak, teletubbies namanya. Lahirlah trend baju dan boneka teletubbies. Teman-teman Aya kompak mengenakan baju dan membawa boneka teletubbies saat bermain. Aya sangat ingin memiliki baju dan boneka itu.

Terlebih kalau teman-temannya mengejeknya ketika tahu Aya tidak punya baju, boneka atau mainan apapun yang bersangkutan dengan teletubbies. Aya tidak pernah mengeluarkan kata-kata saat teman-temannya mengejek.

Hanya jika ia sudah kesal lantaran teman-temannya mengejek melampaui batas, Aya tidakk segan-segan menjambak rambut temannya dan membuat temannya menangis. Maka tak jarang Aya di marahi oleh orang tua temannya karena  tangannya yang sangat ringan ketika ia kesal. Hal itu membuat Aya di juluki “si Bule tomboy.” Ya. Tingkah Aya memang tak jarang seperti anak laki-laki.

Saat malam tiba, dengan sedikit gemetar, Aya duduk di samping ibunya yang tengah menyuapi kakaknya makan malam. “Bu, beliin baju teletubbies dong…” rengek Aya dengan nada sangat  lembut. Ibu Aya langsung menatapnya sambil menyodorkan suapan nasi ke mulut Aya.

Sepatah katapun ibu tidak menjawab rengekan anak bungsunya itu. Dengan wajah cemberut, Aya tidak lagi mengharapkan jawaban ibunya. Ia beranjak menuju kamarnya dan berpikir. Kenapa setiap yang ia inginkan tidak pernah di kabulkan.

Kemudian Aya mengangkat tubuhnya, dan berdiri, lalu mengenakan mukena. Aya bermaksud untuk sholat, tetapi ia tidak wudhu terlebih dahulu. Pemahamannya soal sholat masih sangat minim. Kiblatnya pun tidak beraturan. Ia gelar sajadah dengan asal. Sesuka hatinya.

Bahkan sering ia gelar sajadahnya di atas tempat tidur dan meletakkan bantal  diatas sajadah untuknya sujud. Raka’atnya pun tidak menentu. Entah bacaan apa yang ia baca saat sholat. Hanya berkomat kamit tidak jelas. Tingkah polos Aya selalu ada-ada saja.

 

Sumber Gambar ; Ilustrasi (bingkaigambar)

Bersambung…..

Comment