Cinta adalah pengakuan akan kesempurnaan (keindahan), dan peleburan kedalamnya, Arianto Ahmad dalam “Buku Negara Katanya” (Subiran, 2012 : 207).
Definisi cinta yang digambarkan Arianto Ahmad di atas menegaskan bahwa tidak mungkinlah kita mencintai sesuatu, jika kemudian sesuatu itu tidak mengandung nilai kesempurnaan dan keindahan entah dalam kadarnya yang material maupun dalam kadarnya yang non material.
Karena kesempurnaan dan keindahan itulah, sehingga manusia mengakuinya sebagaimana adanya dan mestinya, entah melalui penyaksian panca indra, khayal maupun akal dengan modus dan motif yang berbeda-beda berdasarkan maqam intelektual dan spiritual masing-masing individu ataupun kelompok.
Selanjutnya proses pengakuan tersebut, melegitimasi dirinya dengan hasrat atau keinginan untuk melebur (tidak dalam arti ruang dan waktu) bersama kesempurnaan dan keindahan tersebut. Yang pada akhirnya menjadikan subyek (pecinta) dan obyek (kekasih) menjadi satu entitas tanpa batasan alias pasangan kekasih.
Berhubung manusia memiliki interpretasi dan artikulasi yang berbeda-beda dalam memaknai cinta. Maka berdasarkan definisi diatas, cinta kemudian terbagi dalam beberapa kadar atau intensitas. Pertama, cinta dalam kadarnya yang material. Manusia yang memahami cinta dalam konsep ini, akan menguraikan hidup dan kehidupannya termasuk kesempurnaan dan keindahan hidup dan kehidupan itu sendiri dalam bingkai material pula.
Mencintai pemilik kesempurnaan dan keindahan karena aksiden materialnya (fenomena material), sehingga tolak ukur kesempurnaan dan keindahannya pun tergantung pada penyaksian panca indranya. Cinta kemudian tersifati mengandung nilai relativisme. Artinya bahwa kesempurnaan dan keindahan tersebut dimaknai relative atau yang paling ekstrimnya subyektif, dalam hal ini tergantung bagaimana manusia yang satu dan manusia yang lain menilainya. lndah dan sempurna bagi manusia yang satu belum tentu indah dan sempurna bagi manusia yang lain.
Kedua, cinta dalam kadarnya yang aqali. Manusia yang memahami cinta dalam konsep ini, senantiasa menguraikan segi dan sudut hidup dan kehidupan termasuk keindahan dan kesempurnaan hidup dan kehidupan itu sendiri dalam tataran substansi atau hakikat material dan nonmaterial. Mencintai pemilik kesempurnaan dan keindahan tersebut bukan dalam domain aksiden atau kenampakan luarnya saja.
Tetapi lebih kepada substansi atau hakikat kesempurnaan tersebut yang tentunya dalam format non-material. Sebab sesuatu yang bersifat material pastilah berubah, pudar dan lapur dimakan usia ruang dan waktu. Sehingga tolak ukur kesempurnaan dan keindahan adalah penyaksiaan, penjabaran, dan pengakuan akal, penegasan dan pembenaran hati, dan mengaktual dalam ucapan dan tindakan.
Cinta dalam konsep yang pertama menginterpretasikan dan mengartikulasikan makna peleburan cinta lebih kepada format penguasaan dan kepemilikan pecinta terhadap kekasih. Yang kadang kala segala carapun dilakukan demi memiliki dan menguasaai pemilik keindahan tersebut. Sehingga kekasih terkesan hanyalah komuditas material yang ketika masih menampakkan keindahan dam kesempurnaan materialnya, maka akan senantiasa diagungkan, dieksploitasi, dikuasai dan dimiliki, dan ketika kesempurnaan dan keindahan itu telah memudar termakan usia ruang dan waktu, maka seketika itu dibuang, dikecewakan dan dihina begitu saja.
Sedangkan cinta dalam konsep yang kedua, menginterpretasikan dan mengartikulasikan peleburan cinta dalam arti “bersama tetapi tidak dalam kesertaan, jauh tak berjarak dekat tak bersentuhan”. Artinya antara pecinta dengan kekasih senantiasa dalam kebersamaan, kedekatan, dan keterikatan dalam arti hakiki (tidak terbatas oleh ruang dan waktu). Sebab cinta dalam hal ini adalah sesuatu yang bersifat non-material. Aktualitas cinta yang seperti ini biasanya mengaktual terhadap seseorang yang memiliki kadar maqam intelektual dan spiritual yang tinggi. Sehingga peleburan cinta yang dipahami bukanlah kepemilikan dan penguasaan tetapi lebih kepada ibadah baik dalam arti ritual maupun sosial.
Yang menjadi vocal point kemudian adalah meskipun dua kadar atau intensitas cinta tersebut mengandung perbedaan yang signifikan, tetapi keduanya sama dalam proses pemposisian subyek (pecinta) terhadap obyek (kekasih), dimana subyek adalah penghamba, penyembah, pemuji, pemuja, dan budak sedangkan obyek sebaliknya.
Sehingga implikasi selanjutnya adalah lika dalam konsep yang pertama menghamba, menyembah, memuji, memuja dan menjadi budak hal-hal yang berdzat dan bersifat material, maka konsep kedua menghamba. menyembah, memuji, memuja dan menjadi budak wujud substansial yang bersifat non-material.
Jika ditinjau dari jangkauan obyek dan subyeknya bagi manusia, maka cinta dalam uraian implisit diatas bersifat universal, baik itu cinta manusia kepada tuhannya, sesama manusia (sejenis maupun lawan jenis), dan kepada alam semesta beserta isinya dengan segala genrenya termasuk politik.
Cinta manusia kepada tuhan termanifestasi melalui bentuk penyembahan dan pemujaan terhadapnya, karena manusia mengakui dengan indra, akal dan hatinya, bahwa dialah sang pemilik keindahan dan kesempurnaan yang serba “Maha” alias tidak terbatas. Kenampakan keindahan dan kesempurnaan alam semesta (makro dan mikro) yang merupakan ciptaannya saja sudah membuat manusia terkagum-kagum bahkan mengkultusnya. Apalagi dikomparasikan dengan penciptanya, maka kekaguman tersebut akan mencapai klimaksnya, padahal manusia telah mengetahui bahwa alam semesta itu hanyalah gradasi wujud yang paling rendah darinya. Dialah tuhan yang maha sempurna dan indah, maka meniscayakan ciptaannyapun dalam keadaan indah dan sempurna meski dalam kadarnya yang rendah.
Cinta pada hakikatnya merupakan sumber ciptaan dan pemelihara nyata dari semua keberadaan. Maka, manusia harus mengetahui, bagaimana cara memberikannya kepada dunia disekelilingnya sebagai simpati, sebagai kebaikan, dan pelayanan terhadap pemilik kesempurnaan dan keindahan tersebut. Dengan konsep seperti inilah sehingga, jika orang mengetahui rahasia cinta, maka ia akan mengenali dan bercinta dengan tuhannya dengan pasti. Sehingga tidak jarang ketika membaca literature para Sufi, kita menemukan sebuah kredo “bahwa alasan penciptaan adalah karena yang Maha sempurna ingin mengetahui diri-Nya, dan melakukannya dengan membangkitkan cinta dari sifat-Nya dan membuatnya menjadi obyek cinta, Yang merupakan keindahan”.
Sudah menjadi sesuatu yang bersifat aksiomatik bagi hampir sebagian besar akademisi Indonesia, jika politik diartikan cara untuk memperoleh, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan. Dimana kekuasaan dalam hal ini, merupakan alat dan kemampuan yang digunakan oleh actor politik untuk mempengaruhi orang lain (khalayak ramai) agar menuruti, mengadopsi dan mengamalkan kemauan dan kehendaknya baik berupa paksaan maupun non paksaan.
Berdasarkan definisi implitis politik dan kekuasaan diatas, maka cinta dalam politik yang dimaksud penulis adalah memasukkan dan menempatkan cinta. Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya sebagai orientasi dan spirit poIitik dan kekuasaan.
Cinta dalam politik mensyaratkan pengakuan tentang keindahan dan kesempumaan teori dan praktis politik dan sistem politik dalam hoidup dan kehidupan baik dalam skop domestic maupun internasional. Tentunya untuk mendapatkan pengakuan akan kesempumaan dan keindahan teori dan praktis tersebut, haruslah dideteksi oleh pengetahuan akal dan hati bahwa, teori dan praktis politik tersebut benar-benar sempurna dan indah. Dimana salah satu tolak ukur kesempurnaan teori dan praktis politik dan sistem politik adalah keserasiannya dengan nilai ketauhidan.
Ketauhidan yang dimaksud adalah bagaimana manusia memandang realitas sebagaimana adanya. Artinya manusia memandang tuhan sebagai pemilik hidup dan kehudupan, termasuk keindahan dan kesempumaan hidup dan kehidupan itu sendiri, dan memandang manusia sebagai peminjam hidup dan kehidupan termasuk keindahan dan kesempurnaan hidup dan kehidupan itu sendiri. Memandang realitas sebagaimana adanya inilah yang kemudian dipahami sebagai ushul (dasar/fundamen) dari manusia dalam bertuhan hingga akhimya beragama (aqidah/pandangan dunia tauhid).
Dari ketauhidan itulah kemudian manusia mampu mengurai tentang bagaimana memahami dan menemukan (bukan menciptakan) sebuah skema besar tentang bagaimana cara memandang realitas sebagaimana mestinya (ideologi tauhid) yang berupa panduan umum dan khusustata kelola hidup dan kehidupan termasuk politik.
Jika politik dipahami sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan. Maka syarat mutlaknya adalah individu atau kelompok tertentu mula-mula harus memiliki kapasitas, kualitas dan integritas kesempurnaan dan keindahan yang lebih, dibanding manusia dan kelompok yang lain. Mulai dari domain Intelektual, mental, hingga spiritual.
Sehingga masyarakat yang lain tidak sanksi dan skeptis dalam memberikan legitimasi kekuasaan tersebut, yang pada akhimya mereka mengamini dengan hati dan akal mereka, bahwa kekuasaan tersebut, layak diberikan kepada mereka.
Dengan dasar inilah kemudian, maka cara memperoleh kekuasaan tersebut berada dalam rel yang sesuai dengan kaidah logika cinta, dimana pemilik kesempurnaanlah yang layak diikuti, diagungkan dikultuskan, dan dipatuhi sedangkan selainnya adalah pemuja, penghamba, pengagum dan pengkultus.
Hal tersebut diamini pula dalam kaidah Iogika yang umum bahwa “sesuatu yang tak punya, mustahil memberi”. Artinnya’ bahwa hanya pemilik keindahan dan kesempurnaanlah yang bisa memberi, membagi dan menciptakan kesempurnaan, keindahan dan keteraturan.
Jika politik dipahami sebagai cara menggunakan kekuaaan. malm $3M pemilik kesempurnaan dan keindahan intelektual, mental dan spiritual itulah, yang kemudian bisa dan Iayak mengelola dan menggunakan kekuasaan tersebut, secara proporsional dan professional.
Proporsional maksudnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, yang dalam kehidupan sosial dipahami sebagai memberikan hak kepada yang berhak dan mengembalikan hak kepada pemilik hak. Sedangkan professional maksudnya adalah mengeluarkan dan menjalankan kebijakan dan keputusan untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa, Negara dan umat.
Sang pemilik kesempurnaan dan keindahan tersebut tidak mungkin membiarkan kemiskinan merajalela, tidak mungkin menghukum koruptor dengan vonis lima dua sampai lima tahun penjara, tidak mungkin membunuh aktivis penegak HAM, tidak mungkin membiarkan puluhan ribu putra dan putri bangsa tidak mengenyam pendidikan, tidak mungkin membiarkan petani menjadi buruh ditanahnya sendiri, tidak mungkin membudayakan penyakit kawanan pejabat public (KKN), tidak mungkin tidur ketika rapat paripuma, tidak mungkin membiarkan corporasi dan perusahaan asing mengeksploitasi sumber daya alam negeri, tidak mungkin membiarkan putra dan putri bangsa saling membunuh atas nama SARA dan tidak mungkin mengkoleksi mobil, rumah dan harta sementara masyarakat melarat.
Dengan dasar paradigma berpikir diatas, maka kekuasaan akan dijadikan sarana untuk mengelola sumber daya manusia dan sumber’ daya alam berdasarkan nilai ketauhidan dengan spirit kecintaan kepada pemilik hidup dan kehidupan.
Oleh karena itu, jika dalam konstelasi perpolitikan disuatu Negara termasuk Indonesia dewasa ini terdeteksi dan terindikasl mengalami kesemrawutan dan ketidakmapanan, penuh dengan kedengkian, dendam, kecaman. penghianatan, pengingkaran. Maka itu pertanda teori dan praktis politik dan “Stem politik yang diadopsi dan dilakonkan telah kehilangan spirit cintanya.
Penulis : Subiran Paridamos, S.Ip, M.Ik ( Pendiri Sekolah Peradaban Jurnalis Indonesia)
Sumber : Buku “Negara Katanya” Mengurai Benang Kusut Problem Berbangsa dan Bernegara
Comment