“Sadar Politik adalah sebagian dari Iman”
Oleh: Alwi Fuadi, S.Ip (PPK Kelapa Dua)
Jakarta, Penalutim.co.id – Keyakinan adalah modal utama dalam menjalani kehidupan, dengan memiliki keyakinan yang bisa dipertanggung jawabkan dengan baik melalui naluri dan akal sehat. Niscaya setiap manusia akan sampai pada kehidupan yang hakiki. Yakni kehidupan yang menjungjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan mengedepankan nilai-nilai kebaikan. Keyakinan yang tidak kuat hanya mampu menghantarkan manusia pada kehidupan yang dipenuhi dengan rasa kegelisahan.
Dalam konteks Indonesia, setiap warga patut untuk berbangga bahwa bumi pertiwi ini dianugerahi oleh kekayaan alam, budaya, bahkan keyakinan Agama (Iman). Melalui perbedaan itu juga bangsa Indonesia sampai pada suatu kesimpulan untuk bersatu padu dalam ikatan yang bernama “negara”. Pancasila menjadi ideologi bangsa, bhinneka tunggal ika kuat sebagai semboyan perajut perbedaan. Indonesia telah melewati fase-fase penjajahan secara fisik, Belanda sudah bukan penguasa bumi pertiwi lagi, dan Jepang pun sudah angkat kaki dari tanah nusantara.
Kini bangsa Indonesia berada dalam fase kemerdekaan. Akan tetapi, nilai-nilai kemerdekaan itu sendiri belum sepenuhnya di ejawantahkan oleh masyarakat Indonesia. Kemiskinan dan rendahnya pendidikan menjadi bukti nyata bagi bangsa ini untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Pendidikan memang salah satu indikator yang bisa dijadikan sebagai sub alat ukur dalam menentukan Indonesia benar-benar merdeka atau tidak dari belenggu kebodohan.
Pendidikan sains perlu ditekuni, pendidikan Agama perlu dikaji, dan pendidikan Politik wajib kita jalani. Sebagai salah satu sumber teori politik klasik, Machiavelli mengatakan bahwa pendidikan politik perlu diberikan kepada orang-orang “yang belum tahu”.
Pendidikan politik tersebut dimaknai bukan sebagai pendidikan politik yang negatif tentang pembenci tiran, melainkan pendidikan positif, yaitu diberikan pada orang-orang yang mengakui pentingnya pendidikan tersebut, sekalipun pendidikan tersebut tersebut merupakan alat tirani yang mengejar suatu keuntungan tertentu (Gramsci, 2001: 17). Rusadi Kantaprawira (1977:54) mengatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu fungsi dari struktur politik di dalam masyarakat.
Saat ini, Indonesia tengah dihadapkan pada euforia demokrasi lokal untuk memilih pemimpin daerah pada pagelaran Pilkada serentak 2018. Secara garis besar, masyarakat Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih berada pada tiga kategori. Pertama, tahu dan sadar pentingnya politik sehingga ikut berpartisapasi dalam pemilihan. Kedua, tahu namun tidak sadar betapa penting politik sehingga tidak ikut berpartisipasi dalam pemilihan. Ketiga, tidak tahu dan tidak mahu tahu betapa pentingnya politik. Orang yang tahu dan sadar politik bisa di identifakasi atas partisipasinya dalam politik, baik kapasitasnya sebagai pemilih, penyelenggara, atau peserta.
Orang yang sadar politik memiliki kewajiban moril untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Pemahaman politik perlu ditransformasikan melalui pribadi-pribadi yang siap untuk membangun negara, melalui proses tersedianya infrastruktur pemimpin yang baik dalam negeri ini. Bagi masyarakat yang telah memiliki pengetahuan tentang urgensitas politik dalam kehidupan berbangsa dan benegara, harus menghapus ego atau sikap yang acuh tak acuh terhadap proses politik dinegara ini, terlebih dalam skop demokrasi lokal pilkada serentak 2018.
Seluruh stakeholders masyarakat baik pemerintah, partai politik, penyelenggara, dan kaum terdidik harus bahu membahu untuk memberikan pengetahuan baru mengenai Politik terhadap masyarakat awam. Apabila pendidikan politik sudah terlaksana dengan baik ditengah masyarakat, potensi rakyat Indonesia untuk dipimpin oleh orang-orang yang salah akan semakin sedikit. Keterpilihan pemimpin yang baik tentu sangat dipengaruhi oleh proses pemilihan yang baik dari penyelenggara, dan pertimbangan yang terdidik dari setiap pemilik suara (rakyat).
Bangsa ini tidak akan mungkin bisa memperoleh pemimpin yang baik dari setiap proses pemilihan, Apabila sebagian besar masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih masih berlandaskan atas Money Politic dalam menentukan pilihan pada setiap pagelaran Pilkada. Tidak ada alasan yang bisa diterima, sekali pun itu atas nama “kemiskinan” untuk menjustifikasi bahwa Money Politic adalah sesuatu yang bisa ditolerir dalam proses pilkada.
Nilai rupiah yang diterima pemilih sangat tidak sebanding dengan nilai legitimasi kekuasaan atas nama demokrasi pilkada yang diterima oleh pemimpin setelah terpilih. Masyarakat harus berbenah diri, dan menyiapkan diri untuk menghadapi pilkada serentak 2018 ini, sudah saatnya kita berani mengambil sikap dengan asas rasionalitas dan pendekatan pendidikan politik yang baik guna mewujudkan kemajuan bangsa.
Jika dahulu KH. Hasyim Asy’ari menyerukan resolusi Jihad untuk melawan penjajah, demi tegaknya NKRI tercinta. Maka saat ini, relevan rasanya untuk mengatakan bahwa “sadar politik adalah sebagian dari iman”, demi merawat masa depan NKRI tercinta, tidak ada salahnya untuk mengobarkan resolusi “Jihad Politik”. Beberapa Jihad Politik yang bisa dilakukan adalah dengan mencegah money politic, mengawal independensi penyelenggara, dan ikut serta dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Apabila tingkat kesadaran masyarakat dalam proses politik pilkada serentak 2018 baik, kemungkinan besar masyarakat untuk memperoleh pemimpin yang baik akan semakin tinggi. Memilih pemimpin yang baik adalah kewajiban bagi setiap masyarakat.
Masyarakat harus memilih dengan penuh keyakinan (rasional dengan pertimbangan terdidik). Untuk menutup tulisan ini, penulis mencoba megulang kembali karya penyair jerman, Bertolt Brecht, “Buta yang terburuk adalah Buta Politik, mereka tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.Mereka tidak tahu biaya hidup, harga kacang, harga daging (ikan), harga tepung, biaya sewa, harga pakaian (sepatu) dan obat, semua tergantung keputusan politik.Orang buta politik sungguh bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya dan berkata ia membenci politik.
Si Dungu tidak tahu bahwa dari kebodohon politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari seluruh pencuri (koruptor), politisi busuk dan rusaknya perusahan nasional dan multinasional”. Semoga masyarakat Indonesia semakin terdidik dalam politik, sehingga tidak adalagi penyandang “Buta Politik” pada pagelaran demokrasi bangsa dimasa yang akan datang, terlebih dalam pesta demokrasi lokal yang sudah berada didepan mata.
Comment