Pandemi Belum usai, DJSN: Pemerintah Harus Tingkatkan Layanan Kesehatan

Penalutim.com, Jakarta – Pandemi Covid-19 yang hingga kini belum juga usai membuat pemerintah harus terus berupaya memaksimalkan kinerja dalam hal pelayanan kesehatan.

Dalam acara Redaktur Meeting Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang digelar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada Rabu (6/5/2021), Ketua DJSN, Tubagus Achmad Choesni menyampaikan bahwa dalam kondisi pandemi ini pemerintah justru harus menjamin pelayanan kesehatan yang menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan.

“Di tengah perubahan tatanan kehidupan, pemerintah terus berupaya menjaga keberlangsungan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) termasuk memperbaiki tatanan pelaksanaan sistem jaminan sosial,” kata Choesni dalam sambutannya.

Choesni mengungkapkan bahwa pandemi telah mengubah banyak tatanan kehidupan masyarakat, termasuk kesehatan. Di tengah perubahan tatanan kehidupan tersebut, pemerintah berupaya menjaga keberlangsungan program JKN, termasuk memperbaiki tatanan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial.

Upaya menjamin keberlangsungan JKN, disampaikan Choesni menjadi prioritas utama pemerintah dalam memberikan perlindungan kesehatan secara menyeluruh kepada penduduk Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004, yaitu memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dan lebih luas.

Dalam kesempatan yang sama Tono Rustiano, Ketua Komisi Komisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi (PME) DJSN, menyampaikan bahwa untuk melihat perkembangan pelaksanaan SJSN di tengah pandemi Covid-19, DJSN sendiri telah melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin ke daerah-daerah. Monitoring dilakukan baik melalui online maupun offline.

“DJSN akan menggunakan mekanisme Monev Online di dua provinsi tiap bulan dengan pendalaman ke lapangan jika dibutuhkan,” kata Tono.

Adapun, hasil Monev JKN yang telah dilakukan DJSN menunjukkan bahwa pertama, hampir semua kabupaten/kota memiliki perwakilan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan telah meningkatkan transparansi data walaupun masih adanya perbedaan pendefinisian prinsip keterbukaan antara BPJS Kesehatan dan pemangku kepentingan.

Kedua, DJSN menemukan fakta BPJS Kesehatan menghadapi penurunan jumlah peserta aktif dibandingkan tahun 2019 dan penambahan iuran anggota keluarga lain peserta PPU masih belum ada perkembangan dari tahun sebelumnya, serta kondisi pandemi Covid-19 menjadikan makin sulitnya peserta menambahkan iurannya.

Ketiga, DJSN memandang aplikasi elektronik badan usaha (e-Dabu) masih mengalami kendala teknis dan memerlukan perbaikan dan pengembangan. Kenaikan iuran dan restrukturisasi anggaran Pemda mengakibatkan jumlah kepesertaan PBPU Kelas III mengalami penurunan di beberapa daerah. Penyelenggaraan JKN-KIS mengalami penurunan akses karena situasi pandemi Covid-19.

Keempat, jumlah kasus dan biaya pelayanan rawat jalan di FKRTL secara umum mengalami penurunan, kecuali pelayanan prosedur dialisis.

Kelima, pelayanan digital dalam masa Covid-19 ini menjadi kebutuhan penting bagi pelayanan antrian maupun pengembangan layanan kesehatan digital yang sedang dikembangkan oleh BPJS Kesehatan.

Keenam, jumlah kasus dan biaya pelayanan rawat inap di FKRTL mengalami penurunan signifikan, kecuali kasus-kasus persalinan, baik melalui vaginal maupun pembedahan. Aset netto DJS Kesehatan masih tercatat minus Rp5,685 triliun sehingga situasi keuangan aset DJS Kesehatan belum dapat dianggap ‘sehat’.

Ketujuh, rasio likuiditas DJS Kesehatan mengalami perbaikan, namun, rasio ini masih berada di bawah standar aman, yakni 120% terhadap aset jangka pendek. Perlu kewaspadaan di masa depan jika akses peserta JKN ke layanan kesehatan mengalami rebound.

Sementara Monev di Bidang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pertama, perlunya perbaikan regulasi cukup luas dalam berbagai bidang/hal diantaranya pengaturan jaminan perlindungan untuk ASN, pekerja migran Indonesia, pengambilan JHT, dan pekerja rentan.

Kedua, sektor informal dengan cakupan pekerja yang merupakan jumlah pekerja terbesar memerlukan upaya extra-ordinary dengan pendekatan khas untuk dapat melindungi para pekerjanya yang jumlahnya sangat jauh melebihi pekerja sektor formal.

Ketiga, pembenahan database kepesertaan yang belum juga tuntas selama bertahun-tahun memerlukan keseriusan prioritas penanganannya.

Keempat, diperlukan penguatan pelayanan pekerja migran Indonesia (PMI) yang belum cukup terlindungi.

Kelima, DJSN memandang masih diperlukan sosialisasi terkait manfaat-manfaat program BP Jamsostek secara langsung kepada peserta.

Keenam, penyiapan sistem IT yang andal guna memastikan proses dan prosedur pendaftaran peserta, pembayaran iuran, pengecekan saldo jaminan hari tua dan pengajuan klaim tidak mengalami hambatan. Namun, kondisi geografis juga menjadi tantangan dalam menyediakan jaringan untuk mendukung sistem IT dan online system berjalan baik.

Ketujuh, program jaminan pensiun mendapat perhatian dan diminati oleh perusahaan, terutama perusahaan yang belum memiliki perlindungan pekerja melalui lembaga pensiun sendiri.

Kedelapan, timbulnya resiko kerugian besar, baik realized maupun unrealized, meski hal yang wajar karena dinamika pasar modal, tetapi tinjauan terhadap sistem dan mekanisme pengambilan keputusan dan pengendalian resiko, serta pelaksanaannya, tetap diperlukan untuk menguji kewajaran tersebut.

Sedangkan isyu strategis SJSN, IIene Muliati, Ketua Komisi Penyiapan Kebijakan DJSN menyampaikan terdapat tiga isyu strategis terkait implementasi JKN yang meliputi 82,5% penduduk Indonesia sudah menjadi peserta JKN. Rinciannya, 59,7% peserta PBI, PPU sebesar 24,8%, PBPU sebesar 13,7%; dan BP sebesar 1,8%.

Kedua, sebaran peserta JKN tidak merata, yang didominasi oleh 5 Provinsi (56,7% peserta), yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten. Yang sebanyak 10,9% nya berstatus nonaktif.

Ketiga, diperlukan kebijakan untuk melakukan reformasi sistemik, termasuk perbaikan data, optimalisasi penggunaan TI, integrasi data dan sistem serta perbaikan tata kelola.

Sedangkan isu implementasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan meliputi, pertama cakupan kepesertaan masih rendah. Pada Agustus 2008 menunjukkan 99,9% dari total Badan Usaha (BU) adalah UKM tapi sampai Agustus 2020 baru 8,6% UKM ikut dalam program jamsosnaker.

Kedua, porsi peserta nonaktif besar. Jumlah peserta nonaktif cenderung meningkat setiap tahun.

Ketiga, cakupan kepesertaan di daerah belum merata dan hanya berpusat di DKI Jakarta, Jawa, dan Banten.

Keempat, pembayaran klaim program jamsosnaker mulai mengejar besaran iuran.

Kelima, aset Dana Jaminan Sosial (DJS) bidang Ketenagakerjaan tidak mengalami peningkatan signifkan, salah satunya karena pekerja informal yang mendominasi angkatan kerja banyak yang belum menjadi peserta program jamsosnaker.

 

Penulis : Ning Rahayu

Editor : Redaksi

Foto : Redaksi