Jaringan Alumni Belanda Bicara Kebebasan Agama di Indonesia

Penalutim.com, Jakarta – Jaringan Alumni Belanda di Indonesia (NL Alumni Network Indonesia) menggelar program Series #3 Orange Talk dengan tema ‘Religious-Based Populism: A Challenge to Maintain Religious-Pluralism And Peace Security In Indonesia’ atau ‘Populisme Berbasis Agama: Tantangan untuk Menjaga Pluralisme Beragama, perdamaian dan keamanan di Indonesia’.

Acara ini dilaksanakan pada hari Jum’at, (26/2/2021) dengan menghadirkan narasumber diantaranya Profesor Mohammad Abdun Nasir (Profesor dalam bidang Hukum Islam di Fakultas Syariah UIN Mataram, alumnus Universitas Leiden), Doktor Mirza Noor Milla (Associate Professor di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia), Doktor Chris J. Chaplin (Peneliti di kajian Asia Tenggara), Doktor Jan Willem Van Prooijen (Associate Professor dalam bidang psikologi sosial dan organisasi dari VU Amsterdam).

Acara berdurasi 2 jam ini dimoderatori oleh Meta Zahro Aurelia, salah seorang alumni Belanda yang kini tengah melanjutkan studi PhD di kampus VU Amsterdam.
Acara diawali dengan sambutan dari Direktur Nuffic Neso Indonesia, Peter Van Tuijl. Dalam sambutannya Peter memberikan apresiasi terselenggaranya acara ini, mengingat persoalan toleransi dan pluralisme beragama di Indonesia merupakan salah satu isu penting dan strategis dalam mewujudkan Indonesia yang damai dan aman.

Acara dilanjutkan dengan pemaparan keynote speech yang disampaikan oleh Yenny Zannuba Wahid, Direktur Wahid Foundation. Dalam materinya, ia memaparkan salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahid Foundation yang menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat muslim Indonesia, sejumlah 72%, menolak radikalisme. Adapun sisanya terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, 0,4% pernah melakukan tindakan radikal di masa lalu, kedua, 7,7% bersedia melakukan tindakan radikal di masa depan apabila ada kesempatan dan ketiga, tidak mempunyai sikap.

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam yang ramah dan toleran, serta kontra terhadap radikalisme masih menjadi mayoritas. Begitu pun halnya yang pro terhadap sistem demokrasi dan Pancasila sebagai dasar negara masih menjadi mayoritas masyarakat Muslim di tanah air.

Pemaparan materi selanjutnya disampaikan oleh 4 narasumber, yang diawali oleh Doktor Mirza Noor Milla. Dalam materi berjudul “Managing Religious Diversity in Indonesia; The role of government satisfaction on religious conservative’s acceptance to democracy”. Ia mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kuat dalam memegang tradisi agama. Ini adalah sebuah hal fundamental yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Lebih jauh lagi, ia memaparkan betapa narasi agama juga pada akhirnya akan banyak digunakan sebagai regulasi dalam persoalan di tengah masyarakat, mulai dari yang berkaitan dengan hal sosial, politik, hingga ekonomi.

Doktor Mirza Noor juga menambahkan bahwa salah satu pemicu radikalisme adalah adanya ketidakpastian negara dan keadaan negara yang darurat dalam segi sosial, ekonomi dan politik yang memungkinkan kaum fundamentalis agama mengambil peran. Solusi yang ditawarkan dalam menahan gerakan radikalisme adalah dengan meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, sehinga nantinya akan menimbulkan kepercayaan dari masyarakat. “Dan ini adalah cara yang lebih baik daripada menyerang ideologi mereka yang mana akan membuat kelompok tersebut makin besar,” jelasnya.

Narasumber selanjutnya adalah Doktor Chris J. Chaplin yang lebih banyak membahas seputar tren terkini dalam mobilisasi keagamaan. Ia mengawali presentasinya dengan mengulas persoalan politik agama yang memanas di tahun 2016 (baca: kasus Ahok) dan berimbas hingga saat ini. “Demokrasi yang di satu sisi memberikan dampak positif bagi kebebasan berpendapat dan beragama, namun di sisi lain juga dapat menjadi ancaman bagi keduanya,” ungkapnya.

Sementara itu, Profesor Mohammad Abdun Nasir, melanjutkan sesi presentasi dengan memaparkan materi dari sudut pandang hukum Islam dan perlindungan terhadap kaum minoritas ‘Religious populism, freedom of association and protection of minorities’.

Dalam presentasinya, ia menyatakan bahwa syariah bisa saja menjadi bagian dari agenda populisme dalam Islam, tetapi hal ini membutuhkan pembentukan kembali, dimana syariah di sini dipahami sebagai fikih atau bagian dari hukum Islam yang dapat diubah, yaitu yang berkaitan dengan interaksi sosial dan manusia (muamalat).

Lebih jauh lagi, ia juga menegaskan bahwa perlindungan terhadap kaum minoritas adalah salah satu hal yang tidak bisa dilupakan dalam mewujudkan semangat pluralisme dan kebebasan beragama.

Materi terakhir disampaikan oleh Doktor Jan Willem Van Prooijen yang banyak menyinggung psikologi sosial dan polarisasi masyarakat dalam menyikapi persoalan ini. Diantara pembahasannya adalah apa daya tarik gerakan populis? Menurutnya, gerakan populis dapat memuaskan masyarakat yang membutuhkan kejelasan epistemik, hal ini merambah kepada pemaparan gambaran realitas politik yang terlalu disederhanakan, dan secara kognitif “mudah dipahami”.

Dengan demikian maka masyarakat akan terdiri dari “kelompok baik” lawan “kelompok buruk”, dan memunculkan solusi yang simpel untuk masalah yang kompleks.

Dito Alif Pratama, alumni officer Nuffic Neso Indonesia, menyampaikan bahwa acara ini sebagai sarana untuk memfasilitasi kiprah alumni Belanda untuk berkontribusi positif dalam mengedukasi masyarakat. “Program ini juga bagian dari upaya memperkuat Kerjasama antar Indonesia-Belanda, khususnya di dalam bidang riset dan Pendidikan,” jelasnya.

 

Penulis : Redaksi

Editor : Ning Rahayu

Foto : Ning Rahayu