Hermanu Joebagio : Pancasila Mengalami Titik Kritis Ketika Anak Bangsa Tidak Melihat Perbedaan Sebagai Keniscayaan

Penalutim.com, Surakarta – Ketua Pusat Studi Pengamalan Pancasila (LPPM) Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), Prof. Hermanu Joebagio, mengatakan Pancasila mengalami titik kritis ketika kita sebagai anak bangsa tak mampu melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.

“Itulah yang membuat kita melihat rada sempit bagaimana melihat pilar Bhinneka Tunggal Ika itu, ketika kita tak bisa bersama, ketika tidak bisa membuka ruang perbedaan, ketika kita tak bisa membuka ruang toleransi terhadap perbedaan itu. Inilah yang sangat menyedihkan saya pribadi,” kata Prof. Hermanu Joebagio saat menyampaikan opening ceremony pada kegiatan Webinar yang diselenggarakan oleh LPPM USM, bertajuk “Anak Muda dan Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan,” Selasa (08/09) via Google Meet.

Anggota BPIP Romo Benny Susetyo mengatakan bahwa Kelompok Cipayung sudah memiliki keyakinan bahwa selain mereka memiliki identitas, juga telah memiliki keyakinan untuk menghargai seluruh keragaman yang ada.

“Keberadaan fenomena toleransi belakangan-belakangan ini adalah berasal dari pemahaman yang tidak utuh terhadap agama. Maka interaksi itu harus pula diarahkan ke arah saling memahami tadi yang terus menerus. Yang mana di Indonesia sudah sangat harmonis sejak dahulu kala dalam bergandengan,” pungkas Romo Benny Susetyo dalam daring youtube yang disampaikan pada acara webinar Refleksi 75 tahun kemerdekaan, Selasa (08/09).

Menurut Benny, akhir-akhir ini muncul kembali isu intoleransi karena muncul berbagai kebohongan di media sosial, distrust sehingga orang-orang saling curiga. Dan melupakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat.

“Kita berharap dari kelompok forum ini juga dapat tercipta kelompok yang meskipun berbeda keyakinan, tetapi satu tujuan dan cita-cita, yaitu menciptakan Indonesia yang damai sehingga kita dapat keluar dari krisis ini agar tidak mengalami kehancuran,” lanjut Romo Benny.

Hal senada disampaikan oleh Sosiologi FISIP USM, Akhmad Ramdhon, bahwa refleksi 75 tahun kemerdekaan bukanlah refleksi mundur tapi adalah komitmen merawat perbedaan, komitmen merawat keragaman dalam agenda-agenda kebangsaan,

“Sehingga kita mendukung komitmen kerja-kerja bersama, untuk memastikan mendorong kembali kebebasan akademik di kampus melibatkan kembali organ ekstra dalam dinamika-dinamika di kampus,” tegas Akhmad Ramdhon yang juga sebagai moderator pada webinar yang bertajuk “Anak Muda dan Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan,”

Ditempat yang sama, Ketua HMI Cabang Surakarta Romadhon mengatakan bahwa refleksi Pancasila adalah menjamin iklim diskusi di kampus, jangan sampai kebebasan akademik dilarang. Aspek lain yang harus dikawal, bukan hanya soal keberagaman, bukan hanya soal masalah intoleransi tapi juga soal nilai-nilai Pancasila yang harus kita respon, dan masalah kebebasan berpendapat, masalah keadilan, fenomena kesenjangan sosial.

“Padahal Indeks Pembangunan Manusia di Solo merupakan nomor 3, tapi kita masih melihat ada banyak kemiskinan di Solo,” jelas Romadhon, Selasa (08/09).

Ketua GMNI Surakarta, Ruwanda Saputra, juga menyampaikan bahwa isu toleransi memang menjadi isu yang sangat santer dibicarakan berkaitan dengan demokrasi-demokrasi yang diselenggarakan negara.

“Bahwa politik identitas dijadikan tolak ukur kemenangan. Itu satu kesalahan. Padahal kita sebagai bangsa sudah memiliki konsesus bersama yaitu Pancasila,” pungkas Ruwanda.

Untuk itu, perbedaan tidak menjadikan kita harus terpecahbelah apalagi hanya untuk momentum politik 5 tahunan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua PMII Surakarta, Putri Lestari, bahwa PMII mengutuk keras sikap intoleransi.

“Kami dari PMII menyikapi isu intoleransi hari ini terjadi khususnya di Surakarta, mengutuk keras sikap tertentu. Karena dalam kehidupan sehari-hari kita harus saling menghargai kepercayaan dan keyakinan bersama satu sama lain. Juga ketika terjadi berpedaan pendapat,” tukas Putri di webinar refleksi 75 tahun kemerdekaan, Selasa (08/09).

Kemerdekaan yang sesungguhnya, dalam pandangan Ketua IMM Surakarta, Yasma Hidayat, ialah ketika nilai Pancasila dapat dipahami dan diterapkan dengan baik. Maka bukan alasan kemerdekaan adalah sebuah seremonial saja.

“Tetapi tanpa penegakan hukum misalnya dalam menjalankan sistem. Ini harus menjadi sebuah refleksi sendiri. Kemerdekaan itu merupakan cita-cita dari setiap bangsa dan negara. Ini menjadikan Indonesia yang mana juga memiliki jargon persatuan, yang artinya setiap elemen sebagai bagian dari bangsa ini harus mempunyai keterbukaan dan kerjasama antar yang lainnya,” tukas Yasma.

Demikian menurut LMND Sukahardjo, Andaru Wisnu, bahwasanya jika kita bicara Indonesia maka kita tidak lepas dari permasalahan. Salah satunya isu toleransi yang meletakkan kegoisme agama-agama tertentu.

“Jika kita bicara soal intoleransi ini penyebabnya adalah itu. Masalah lain adalah menganggap bahwa mayoritas adalah kebenaran itu sendiri. Nah cara menyelesaikannya adalah dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri,” kata Andaru Wisnu (Ketua LMND Sukahardjo, Selasa (08/09).

 

Penulis : Amir

Editor : Redaksi

Foto : Amir