Penalutim.com, Jakarta — Tanaman tembakau kini sedang memasuki musim tanam yang hampir serentak di seluruh wilayah di Indonesia. Meskipun di tengah masa pandemi COVID-19, para petani tembakau tetap berupaya untuk menghidupi ladangnya dengan mematuhi pembatasan-pembatasan yang berlaku di masing-masing daerah. Upaya ini tentunya dilakukan demi menyambung kehidupan di masa sulit seperti ini.
Tembakau sendiri diketahui merupakan sumber penghasilan bagi sekitar tiga juta petani di seluruh Indonesia. Selain bergantung pada kondisi cuaca untuk menghasilkan panen tembakau yang berkualitas, keberlangsungan hidup para petani tembakau juga sangat bergantung pada eksistensi beragam industri tembakau sebagai penyerap hasil panen tembakau yang berbeda-beda kualitasnya. Namun, eksistensi seluruh industri tembakau juga sangat bergantung pada otoritas pemerintah, yang menetapkan peraturan atas keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia.
Melihat ketergantungan yang cukup tinggi dengan ekonomi masyarakat akar rumput, pemerintah perlu menghasilkan kebijakan terkait IHT yang stabil agar dapat menjaga eksistensi tidak hanya industri rokok, melainkan juga seluruh entitas yang dinaunginya. Sebagai contoh kebijakan terkait tarif cukai.
Sejak tahun 2015, tarif cukai rokok terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Berturut-turut, tarif cukai rokok mengalami kenaikan sebesar 8,72 persen pada tahun 2015, 11,19 persen pada tahun 2016, 10,54 persen pada tahun 2017, 10,04 persen pada tahun 2018, 10,04 persen pada tahun 2019, dan terakhir 23 persen pada awal tahun 2020. Kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun ini juga dibarengi oleh kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sekitar 35 persen dan cukai hasil tembakau (CHT) sekitar 21,55 persen.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menyoroti dampak kenaikan tarif cukai yang terus-menerus tersebut kian menghimpit para pelaku industri tembakau.
“Dengan kenaikan tarif cukai rokok yang cukup besar pada awal tahun 2020, penjualan rokok tahun ini diprediksi menurun sekitar 15% hingga 20%. Ditambah lagi, industri tembakau juga ikut terhantam oleh keberadaan pandemi COVID-19 karena berdampak pada penjualan rokok yang diprediksi semakin menurun hingga sekitar 30% sampai 40%,” ungkapnya.
Sebelumnya, pandangan serupa juga diutarakan oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji terhadap kenaikan tarif cukai rokok. Menurut Agus, petani tembakau juga terpapar terhadap dampak dari kenaikan tarif cukai yang menghantam para pelaku industri.
“Memang yang terhimpit adalah industri, namun petani adalah yang paling pertama terkena dampak yang paling besar. Seperti saat kenaikan tarif cukai di awal tahun 2020, industri langsung menghentikan pembelian tembakau di sentra-sentra pertembakauan karena berupaya untuk mengurangi bahan baku. Hal ini tentunya berdampak langsung terhadap perekonomian para petani tembakau,” jelasnya.
Akibat kebijakan yang kian menghimpit, jumlah industri tembakau di Indonesia terus tergerus yang dapat terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Data Direktorat Jenderal Bea Cukai mencatat pada tahun 2017, jumlah pabrik rokok di Indonesia hanya tersisa 487 pabrikan dari 1.000 pabrik rokok yang eksis pada tahun 2012. Pabrikan tersebut termasuk penghasil tiga jenis produksi hasil tembakau yang dilegalkan dalam Undang-Undang, yaitu Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Tren penyusutan jumlah pabrikan rokok di Indonesia merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang cenderung tidak mendukung keberlangsungan industri ini. Perubahan kebijakan dari tahun ke tahun juga merupakan hal lain yang menyebabkan pelaku industri tembakau sulit melakukan proyeksi masa depan bisnisnya.
Contoh lainnya terkait kebijakan simplifikasi tarif cukai dan penggabungan tarif cukai SPM dan SKM yang terus mendapatkan pertentangan oleh para pelaku industri. Jika diterapkan, kebijakan tersebut diyakini akan mematikan industri golongan kecil dan menengah. Padahal, para pabrikan rokok kecil dan menengah tersebut turut andil dalam menghidupkan perekonomian masyarakat serta pertanian tembakau di berbagai daerah di Indonesia.
Kategori kecil, menengah, dan besar pada pabrikan rokok di Indonesia tidak semata-mata menggambarkan kapasitas produksi yang dimiliki, namun juga menggambarkan jenis dan kualitas tembakau yang digunakan.
Tembakau grade 1 yang disebut sebagai kualitas terbaik biasanya digunakan oleh perusahaan besar, sedangkan tembakau grade 2 dan lainnya biasanya digunakan oleh pabrikan yang lebih kecil. Masing-masing jenis dan kualitas tembakau ini biasanya juga ditanam di wilayah berbeda. Karena itu, adanya keragaman kategori industri menopang kelangsungan pertanian tembakau Indonesia berikut dengan kehidupan para petaninya.
Kondisi pandemi yang tengah terjadi juga memberi tantangan lebih kepada IHT dan seluruh mata rantai di dalamnya. Karenanya, Henry turut mengapresiasi kebijakan dari Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memberikan relaksasi penundaan pembayaran pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari selama pandemi COVID-19 ini yang sangat membantu para industri rokok dalam mengatur cash flow. Henry juga mengapresiasi Kementerian Perindustrian yang telah memberikan bimbingan dan panduan sehingga para industri rokok tetap dapat berproduksi dengan mematuhi protokol kesehatan COVID-19.
Untuk ke depannya, Henry merekomendasikan bahwa pemerintah tidak perlu mengubah kebijakan IHT yang sudah ada saat ini untuk melindungi beragam industri tembakau yang sudah terancam gulung tikar, karena masing-masing kategori tersebut sudah memiliki pasarnya tersendiri. Selain itu, kondisi yang kian menghimpit pelaku usaha menyebabkan pabrikan rokok tidak dapat menunjang penghidupan masyarakat sekitarnya yang selama ini dilakukan berdasarkan asas gotong royong. Hal ini juga patut dipikirkan bersama.
Wacana-wacana perubahan kebijakan seperti peningkatan tarif cukai rokok yang terus menerus ataupun juga penyederhanaan struktur tarif cukai dan penggabungan volume SKM dan SPM diminta agar tidak dilanjutkan. “Kami berharap bahwa struktur tarif cukai yang mencakup 10 layer seperti saat ini tetap dipertahankan, serta tarif cukai untuk tahun 2021 tetap pada status quo dengan menggunakan aturan yang ada saat ini dan mempertimbangkan dampak pandemi COVID-19 serta tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun ini,” tuturnya.
Sependapat dengan itu, Agus juga berharap bahwa pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat dan stabil, khususnya setelah pandemi COVID-19 ini yang dampaknya juga turut dirasakan oleh industri hasil tembakau. Diharapkan, pemerintah dapat mengakomodir seluruh pelaku industri dan juga melindungi pihak-pihak lain yang terkena dampaknya, termasuk petani tembakau.
Ia menyampaikan bahwa, “Petani tembakau merupakan pihak yang paling sengsara jika industri tembakau terus dihantam. Dengan demikian, pemerintah perlu lebih melindungi para petani tembakau dengan memperhatikan kemakmuran para petani tembakau, memastikan penggunaan tembakau hasil panen para petani lokal secara efektif, serta tidak melanjutkan agenda-agenda yang terus menekan para pelaku IHT.”
Harapan pihak-pihak yang terlibat dalam IHT tersebut diharapkan bisa diakomodasi oleh pemerintah agar sedikit meringankan tekanan ke tembakau tanah air. Sebagian besar industri kecil dan menengah akan terus tergerus dan terpaksa menutup sumber pemasukan bagi berbagai entitas yang terlibat di dalam mata rantai proses produksi rokok. Oleh karenanya, pemerintah diharapkan dapat menerapkan kebijakan IHT yang stabil dan kondusif dengan menjaga aturan yang sudah ada saat ini.
Penulis : Ning Rahayu
Editor : Redaksi
Foto : Tempo