Ini 7 Teknik Propaganda Politik yang Sering Digunakan dalam Pemilu

Pena Politik2,520 views

Name Calling

Rousydiy (1989: 327) mendefinisikan Name calling merupakan suatu cara dengan jalan memberikan julukan yang buruk kepada suatu ide, kepercayaan, jabatan, kelompok bangsa, ras dan lain-lain, agar khalayak menolak atau mencerca tanpa mengkaji kebenarannya. Sastropoetro (1991 :186) Mengartikan Name-calling adalah pemberian julukan atau sebutan dalam arti yang buruk dengan maksud untuk menurunkan derajat nama seseorang atau prestise sesuatu idea di muka umum. Oleh Wasono (2007 : 65) Name calling diartikan sebagai tekhnik umpatan.

Tekhnik ini merupakan tekhnik propaganda dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk. Tujuannya adalah agar orang menolak dan menyangsikan ide tertentu tanpa mengoreksinya /memeriksanya terlebih dahulu. Menurut Nurudin, salah satu ciri yang melekat pada teknik ini adalah propagandis menggunakan sebutan- sebutan yang buruk atau sesuatu yang berkonotasi negatif terhadap lawan yang dituju (Nurudin, 2001 : 30).

Glitering Generality      

Rousydiy (1989: 327) menyatakan bahwa Tekhnik ini merupakan kebalikan dari “Name calling” dengan menggunakan kata-kata muluk agar rakyat ramai menerima dan menyetujuinya tanpa usut periksa tentang kebenarannya. Ingat propaganda Jepang” Asia untuk bangsa Asia”, one for all, all for one, Bapak Pembangunan”, “Sama Rata sama Rasa dan lain sebagainya.

Menurut Sastropoetro (1991: 86) , teknik ini adalah suatu teknik dimana seorang propagandis menonjolkan gagasannya dengan sanjungan- sanjungan agung,sepertinya saja dengan kata-kata “demi keadilan”, kemerdekaan, kebebasan‟ atau “untuk membela rakyat melarat” dan sebagainya. Propagandis dalam hal ini mengidentifikasikan diri atau gagasannya dengan segala sesuatu yang serba luhur dan agung.

Warsono (2007: 66) menerjemahkan sebagai sebutan yang muluk muluk. Menurut Nurudin, teknik propaganda sebutan yang muluk-muluk ini adalah suatu teknik propaganda dengan mengasosiasikan sesuatu dengan sesuatu”kata bijak” yang digunakan untuk membuat kita menerima dan menyetujui hal itu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Jika dibandingkan dengan teknik umpatan yang menggunakan kata-kata yang kasar dan berkonotasi negatif, dalam teknik ini menggunakan kata-kata sanjungan, kata yang muluk-muluk, atau kata yang berkonotasi positif. Teknik ini dimunculkan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar mereka ikut mendukung gagasan propagandis (Nurudin, 2001:31).

Transfer

Rousydiy (1989: 372) menerjemahkan Tekhnik transfer adalah merupakan salah satu cara propaganda dengan menggunakan otoritas dan pristise yang mengandung nilai kehormatan yang dialihkan kepada sesuatu dengan tujuan agar masyarakat ramai menerimanya. Misalnya menggunakan “ka‟bah” sebagai salah satu tanda gambar dalam pemilu dan lain sebagainya.

Sementara Sastropoetro (1991: 186) menerjemahkan Transfer adalah ciri-ciri kegiatan propaganda yang menggunakan teknik pemakaian pengaruh dari seorang tokoh yang paling berwibawa dilingkungan tertentu, dengan maksud menarik keuntungan-keuntungan psikologis dari pengaruh-pengaruh itu, sepertinya saja dengan menegaskan : “pilihlah calon ini, ia adalah sahabat baik dari Gubernur.

Menurut warsono, teknik transfer diartikan sebagai teknik meminjam ketenaran (Warsono, 2007: 74). Teknik ini meliputi kekuasaan, sanksi, dan pengaruh sesuatu yang lebih di hormati serta lebih di puja dari hal lain agar membuat sesuatu lebih bisa diterima oleh komunikan. Teknik propaganda transfer dapat menggunakan pengaruh seseorang atau tokoh yang paling dikagumi dan berwibawa dalam suatu lingkungan.

Propagandis dalam hal ini mempunyai maksud agar komunikan terpengaruh secara psikologis terhadap hal yang sedang di propogandakan (Nurudin, 2001: 32). Pengambilan nama-nama besar yang pernah menggariskan sejarah perpolitikan Indonesia ini pada dasarnya dapat saja disebut sebagai alat komunikasi politik terutama untuk membangkitkan emosi primordial para calon pemilihnya. (2008 : Muhtadi : 99)

Testimonial

Rousydiy ( 1989: 372) mengartikan Tekhnik testimonial adalah cara melancarkan propaganda dengan mengutif atau mensitir kata-kata orang terkenal mengenai baik tidaknya sesuatu ide atau produk, agar diterima oleh orang banyak dan setuju untuk mengikutinya. Misalnya memberikan suatu fatwa yang dilandaskan pada sabda rasulullah SAW dan fatwa ulama terkenal. Nurudin mengatakan bahwa Testimonial merupakan propaganda yang berisi perkataan orang yang dihormati atau dibenci bahwa ide atau program atau suatu produk adalah baik atau buruk (Nurudin, 2001 : 32). Dengan kata lain teknik ini diartikan oleh warsono sebagai pemberian kesaksian (warsono, 2007: 85). Lain halnya dengan Sastropoetro ( 1991 : 186) menerjemahkan testimonial adalah cara menggunakan nama orang-orang terkemuka yang mempunyai otoritas dan prestise sosial tinggi dalam menyodorkan atau meyakinkan sesuatu hal dengan jalan menyatakan misalnya, bahwa hal tersebut didukung oleh orang orang terkemuka tersebut.

Plain Folks

Rousydiy (1989 : 373) mendefinisikan Plain folks merupakan suatu cara yang digunakan oleh seorang propagandis untuk meyakinkan orang banyak, bahwa gagasannya adalah baik oleh karena “demi rakyat” Tekhnik ini banyak digunakan orang dalam kampanye politik untuk memikat dan memenangkan simpati rakyat banyak. Misalnya :”Kami hanyalah penyambung lidah rakyat”, “dari rakyat untuk rakyat, dan lain sebagainya. Nurudin menerjemahkan teknik tersebut adalah propaganda dengan menggunakan cara memberi identifikasi terhadap suatu ide. Teknik ini mengidentifikasikan yang di propagandakan milik atau mengabdi pada komunikan (Nurudin, 2001 : 33).

Sifat merakyat sering dimunculkan dalam propaganda ini, warsono mengartikan teknik ini “pura-pura orang kecil” (Warsono, 2007 : 69), karena saat menggunakan teknik ini propagandis mengidentifikasikan dirinya sebagai rakyat dengan cara menempatkan dirinya seolah-olah seperti rakyat juga.

Sastropoetro (1991: 186) menerjemahkan Plain-folks adalah cara propaganda dengan jalan memberi identifikasi terhadap idea, calon pemilih atau hal apa saja yang di propagandakan sebagai milik dari rakyat, sedangkan hidupnya pun bersama rakyat pula. Maksud dari cara ini adalah menyamakan diri dengan rakyat, agar dapat dianggap sebagai milik rakyat banyak.

Dalam pandangan Mulyana (2008: 117) bahwa kesamaan dalam hal-hal tertentu seperti Agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan, atau tingkat ekonomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik dan pada gilirannya karena kesamaan tersebut komunikasi mereka lebih efektif. Kesamaan bahasa khususnya akan membuat orang-orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memahami bahasa yang sama.

Card Stacking

Rousydiy (1989: 373) menjelaskan pengertian card Stacking Secara harfiah bermakna “penumpukan kartu” secara maknawiyah berarti upaya menutupi hal-hal yang faktual (yang sebenarnya) seraya mengemukakan bukti- bukti palsu, sehingga orang banyak menjadi tertipu. Tekhnik ini banyak digunakan orang dalam masa perang. Ingatlah bagaimana jepang dahulu dalam perang dunia II senantiasa menyiarkan kemenangan-kemenangan yang diperolehnya di setiap front pertempuran. Tiba-tiba pada tanggal 14 agustus 1945 ia menyerah kalah kepada sekutu. Perhatikan pula berita-berita yang disiarkan oleh masing-masing pihak yang sedang berperang, seperti Syuriah sekarang, Masing masing memberitakan kemenangannya, Tidak pernah menceritakan kekalahannya, Inilah propaganda.

Sastropoetro (1991: 186) menerjemahkan teknik itu adalah cara propaganda dengan jalan menonjolkan hal-hal yang baiknya saja, sehingga publik hanya dapat melihatnya dari satu segi saja. Warsono mengartikan card stacking adalah penumpukan fakta yang mendukung (Warsono: 2007: 84), meliputi : Seleksi dan kegunaan fakta atau kepalsuan. Ilustrasi atau kebingungan dan masuk akal atau tidak masuk akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik untuk suatu gagasan, program manusia dan barang. Teknik ini hanya menonjolkan hal-hal atau segi baiknya saja, sehingga publik hanya melihat satu segi saja (Nurudin, 2001: 34).

Bandwagon

Rousydiy (1989: 373) menerjemahkan Bandwagon secara harfiah berarti”Kereta Musik” yaitu kendaraan yang digunakan untuk mengangkut rombongan musik. Sebagai tekhnik propaganda bandwagon bermakna ajakan kepada khalayak rakyat untuk secara beramai-ramai menyetujui gagasan atau program yang dikemukakan, dengan meyakinkan mereka bahwa kawan-kawan lainnyapun semua sudah setuju. Teknik bandwagon ini dahulunya banyak digunakan oleh PKI di Indonesia.

Sastropoetro mengemukakan bahwa Bandwagon dilakukan diantaranya dengan jalan membesar-besarkan sukses yang telah dicapai oleh seseorang atau oleh sesuatu kelompok atau barang. Lebih lanjut sastropoetro mencontohkan dalam kampanye pemilihan umum misalnya dikemukakan, bahwa di daerah tertentu calon partai politik tertentu telah di dukung oleh mayoritas dan kemenangan baginya pastilah tercapai. Maksud dari propaganda ini adalah menarik rakyat yang masih ragu-ragu, yang pada umumnya mau melihat dulu siapa yang akan menang untuk kemudian memilih pihaknya, atau mau menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan apa yang dilakukan oleh orang banyak.

Teknik ini dilakukan dengan menggembar gemborkan sukses yang dicapai oleh seseorang, suatu lembaga atau organisasi. Teknik ini merupakan teknik propaganda yang mendorong kita untuk mendukung suatu

tindakan/pendapat karena hal tersebut popular atau dengan kata lain banyak atau bahkan hampir semua orang melakukannya (Nurudin, 2001 : 34). Warsono mengartikan teknik ini sebagai teknik ikut-ikutan (2007: 76).

Foto : TribratanewsNTB

Sumber :

Mulyana, Deddy.2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : PT Remaja Rosdakary

Muhtadi, Asep Saeful.2008. Komunikasi Politik Indonesia. Bandung : Rosdakarya

Nurudin.2008. Komunikasi Propaganda. Bandung : Rosdakarya

Rousydiy, Lathief. 1989. Dasar-Dasar Rhetorica Komunikasi dan Informasi. Medan : Firman Rimbow

Santoso, Sastropoetro. 1991. Propaganda salah satu bentuk Komunikasi Massa. Bandung : Alumni Bandung: Citra Aditya bakti

Jurnal Academia Praja Volume 1 Nomor 1 – Februari 2018

Comment