Oleh : Novita Sopline (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Penalutim.co.id, Jakarta – Pemuda adalah generasi penerus bangsa, sosok pemuda adalah pejuang yang melanjutkan dari generasi sebelumnya. Maka sepatutnya bangsa merawat generasi pemuda agar cita-cita bangsa berjalan sebagaimana mestinya. Dengan demikian pemuda ibarat lapisan eksponental bangsa, yang berjumlah besar, begitupun dari seluruh jumlah pemuda yang ada di Indonesia yang merupakan lapisan dinamisme, atau sebagai (vitalitas heroisme).
Pemuda bukanlah entitas yang tunggal, akan tetapi bermakna objektivitas yang semestinya ditaklukan sebagai konstruksi sosial, karena akan selalu berproses (process) atau menjadi (becoming) atau dengan terminilogi lain sebagai subjek agar bisa berinteraksi dengan keadaan sosial atau berupa relasi kuasa yang sudah tidak seimbang, baik termanifestasi dalam institusi yang merepsentasikan Negara, pasar, budaya maupun masyarakat itu sendiri.
Relasi kuasa yang tidak seimbang akan mengerucut tumpul di tatanan gresrut atau tatanan global. Kalau saya pinjam kata Rene Descartes dalam (cogito ergo sum) bahwa pemuda perlu dikonstruksikan sebagai kesadaran.
Keberadaan ontologisnya selalu menjadi subjek dalam proses becoming, karena hal tersebut bisa dijadikan sebagai pijakan awal untuk memahami dinamika pemuda pasca modern. Secara historis pemuda tidak lain sebagai konstruksi sosial yang tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial-kultural.
Tradisi Anglo-Saxon ia menjelaskan bahwa pemuda lahir sebagai katagori baru dalam masyarakat, sebagai respon perubahan sosial yang dikendarai kapitalisme, industrialisasi, dan urbanisasi. Potensi pemuda sangat berguna untuk merespon kebutuhan tenaga kerja, supaya akumulasi profit industrialisasi berlajan mulus.
Katagori dalam masyarakat, pada saat itu pemuda sempat dikontruksikan sebagai sosok penyimpang sebab menganggu keamanan Negara dan, sisi lain karena praktek budaya yang mereka ciptakan membuat Negara, pasar, maupun generasi tua mengalami (moral panic), atau youth culture, kelompok-kelompok seringkali menjadi sasaran kecaman.
Kalau kita lihat dengan kaca mata politik kelompok subculture dianggap sebagai subversive sehingga cendrungnya terhadap budaya yang dominannya baik yang termanifestasikan ke dalam gerakan sosial pun gaya hidup mereka sehari-sehari.
Secara kultural implikasi ini adalah proses transisi yang melibatkan keberadaan institusi yang ada dalam masyarakat, sebab budaya kaum muda menjadi realitas yang komplek yang seharusnya diinteraksikan ke dalam kehidupannya sehari-hari.
Akan tetapi faktanya pada era zaman sekarang ini pemuda bukanlah sebagai agensi yang terkontrol, malah sebaliknya pemuda saat ini tergerus oleh pesatnya teknologi dan lebih dominan terjebak pada gaya hidup kapitalisasi sehingga menjadi generasi menunduk (gadget), jadi semangat pemuda sudah hampir tidak terdengar dikalangan intelek maupun aktivis walaupun tidak secara keseluruhan.
Dengan ini saya akan mengacu pada karya Marshall Mcluhan (Understanding Media), bahwa pengaruh media ada positif dan negatifnya, terutama dalam sisi positifnya bahwa media sebagai pelipur lara, dari sini saya bisa mereduksi problem realitas saat ini.
Dari sisi lain dampak perluaasan media sangat membantu kita untuk mengakses berbagai kebutuhan sesuai keinginan kita masing-masing. Terkadang di sisi negatifnya, manusia samakin cendrung mengikuti arus perkembangan teknologi, tanpa harus mengkonstruksi terlebih dahulu, kita akan dikalahkan oleh hasrat sendiri sehingga terjebak pada ranah negatif serta mengasampingkan keadaan sosial sekitar maupun keadaan sosial secara universal.
Pada era milenial saat ini semangat nasionalis dan patriotism hampir tidak ada, ditambah lagi pendidikan belum merata serta sistem Negara didominasi oleh kepentingan seseorang. Indikasi ini tentu bukan hanya dirasakan di Negara Indonesia. Negara Malaysia misalnya juga bisa diragukan tentang perluasan media terhadap genarasi muda. kalau saya kutip dari Noam Chomsky bahwa media telah memidiasi keadaan realitas di setiap penduduk Negara.
Kalau dari konteks sosialnya saya lihat dari kaca mata Karl Mannheim dalam esainya (The Problem Of Genarations), pada 1952, ia menjelaskan mengenai potensi konflik antar genarasi. Bagi Mannheim, konteks sosial dan historis membentuk nilai, kepercayaan dan pandangan hidup setiap generasi, dengan begitu indikasi ini tidak mudah ditransfer lansung pada generasi selanjutnya. Tentu setiap generasi selalu bernegoisasi dengan perubahan sosial.
Nila-nilai yang lama selalu tidak relevan pada konteks pasca modern, namun dua tersebut membentuk kesadaran yang memisahkan antar generasi sehingga konflik generasi sering kali muncul dipermukaan. Mannheim juga berasumsi bahwa konflik tersebut bertranformasi menjadi dorongan politik (political force) dan serta gerakan sosial melintasi kelas sosial dan menjadi agen terciptanya perubahan sosial dalam masyarakat.
Dengan ini saya menawarkan bahwa perlunya kesadaran kritis dengan adanya hegemoni dan dominasi neoliberalisme serta melebarnya kesenjangan sosial menjadi agenda utama dan yang terpenting untuk disosialisasikan kepada kaum pemuda era sekarang.
Kesadaran kritis dapat mengkonstruksi kita atas problem realitas Negara saat ini dan, tidak lagi bersifat taken for granted, dunia yang berjalan dengan baik-baik saja. Seharusnya pemuda menyadari bahwa demokrasi Indonesia belum bisa dikatakan mencapai titik yang baik, namun sebaliknya terjungkir pada transisi dalam bermacam-macam motif.
Comment