Partai Politik dan Politisi Seolah-olah

Opini81 views

Penalutim.co.id – Gambaran Politik Indonesia selalu memperhadapkan masyarakat pada dua realitas, yakni realitas oposisi dan koalisi. Kedua realitas ini selalu menjadi bumbu hangat dalam dinamika politik Indonesia. Kecenderungan ini tidak berangkat dari sifat alamiah dalam ruang-ruang politik, tetapi dibentuk berdasarkan keinginan dan kepentingan masing warna atau patron lembaga politik dan elitk politiknya.

Kesengajaan yang membingungkan masyarakat, dengan keinginan yang sama tapi ukuran berbeda ini, tiada lain hanya pagelaran citra. Masing-masing punya penanda citra untuk menstruktur realitas dengan menggunakan semboyan- semboyan bahasa khusus. Pemilu 2009 pelabelan neolib, pro rakyat dan lebih cepat lebih baik ini semuanya adalah struktural citra yang sekedar mekanisme kesan sangat jauh dari subtansi.

Lain halnya ketika pemilu 2014, memiliki ciri pelabelan struktur realitas yang berbeda. Pembuatan kesan yang sekiranya diikutkan dengan pesan subtantif percepatan pembangunan mungkin tidak menjadi masalah. Hanya ini berbanding terbalik,  kesan yang muncul hanya untuk membagi masyarakat dalam dua pusaran Pro dan Kontra, yang kadang dimaknai si baik dan si buruk. Jika sudah dimaknai seperti itu, maka luapannya tentu berbeda dari harapan tujuan Berbangsa dan Bertanah Air. Memaki pasti ada, menghujat, dan dendam sangat pasti ada.

Dinamika oposisi dan koalisi akan selalu muncul tanpa batasan waktu ini, tengah menggeliat merusak nalar dan persepsi masyarakat dalam melihat kehidupan politi. Kalau 5 tahun masa kepemimpinan maka akan 5 tahun juga akan ada sikap oposisi dan koalisi. Coba dibayangkan selama 5 tahun masyarakat dibagi dalam 2 kutub, selama itu akan ada pro dan kontra.

Artinya selama itu akan ada cacian dan makian pada setiap saat kehidupan bermasyarakat. Alasannya pasti akan berpusar pada perlunya penyeimbang, dan ini hanya bentuk kritik. Kok penyeimbang nuansanya tidak seimbang, kok kritik nuansanya makian,cacian dan terkadang rasis dan berbau fitnah. Konstruk realitas yang terbangun ini, tentunya tidak akan menguntungkan kemajuan bangsa. Boleh bangunan infrastruktur terbangun, tapi bagai mana dengan manusianya ?

“Mungkin Partai Politik dan elit politiknya harus belajar move on demi tujuan besar, dari sekedar formalistik belaka”

Sebuah keniscahayaan dalam pemilu, masyarakat diperhadapkan pada keberpihakan memilih dan tidak memilih siapa, hanya jangan berbias sampai pemilu selesai. Saatnya untuk saling membantu dengan menciptakan ide pembangunan, bukan merusaknya pada gelombang citra elit politik yang tak berkesudahan. Pembangunan menjadi taruhan, rakyat akan semakin tidak terdidik dalam memaknai realitas politik yang sesungguhnya. Mari mikir !!!!!

Selain menstruktur Realitas Politik dalam dua kutub, kehidupan perpolitikan Indonesia juga dihadapakan pada elit politik (politisi) yang mengidap penyakit hiperealitas. Elit politik dengan hiperealitas yang akan selalu menampakan dirinya menjadi reality of proxi, seorang elit politik yang tidak mampu membedakan kemampuan akan kesadaran realitas dan fantasi.

Sehingga mimpi indah dibangunnya dengan cara paksa, membentuk kesan-kesan tersendiri di masyarakat. Seolah-olah dirinya adalah politisi yang memikir nasib rakyat kecil, santun yang didesain dengan fhotoshop, berslogan berkerja untuk rakyat, tapi ngumpul hanya dengan rakyatnya (timses) saja.

Tujuannya hanya satu, demi keinginan mencapai mimpi indahnya. Kemudian menampakkan diri sebagai solusi imajiner dengan mengobjekkan dirinya pada kesan melalui kecanggihan teknologi, sebagai fakta yang nantinya akan dirasakan oleh pemilih. Intinya elit politik ini akan menampakkan satu kesan bahwa sesuatu yang tidak nyata, akan menjadi nyata yang akan rasakan rakyat. Luar biasa

Politisi ini akan selalu nampak sangat seolah-olah pro rakyat, memperhatikan rakyat, dan sangat dekat dengan rakyat. Kesan dan citra seolah-olah dirangkai dalam bingakai desain grafis dengan menyewa ahli. Rakyat yang menjadi korban dari seolah-olahnya.

Partai Politik dan politisi seolah-olah inilah, yang seringkali membuat masyarakat menjadi kacau, dibuat berpihak dan tidak berpihak. Bahwa dirinyalah yang paling ideal sebagai partai politik dan seorang politisi, dan bagi yang lain “tidak”.  Saling memaki satu sama lain, dengan wajah-wajah reality of proxi dan solusi imajiner yang dibangun kurangnya kualitas, tapi banyak keinginan.

Rakyat dibuat terpecah dan kacau dengan saling memaki maupun mengfitnah disebabkan oleh partai politik dan politisi seolah- olah itu, yang tahunya hanya memikirkan kursi kekuasaan, kurang kualitas tinggi publisitanya dan haus isi tas.

Hiruk pikuk partai politik dan elit politik seperti ini selalu menjadi tranding topik  menghiasi dinding media baik elektronik maupun cetak. Isu politik menjadi nyanyian yang nyaring didengar. Fenomena visi, misi, gizi, budaya politik sangat melukai hati rakyat dengan tage line “bekerja dan mengabdi atas nama rakyat”. Hanya menjadi pepesan kosong. Ruang publik tercederai hanya akan terkonstruk berdasarkan impian, bukan pengejewantahan nilai kedaulatan rakyat.

Kegagalan Sistem Politik tidak menjadi instrumen komunikasi politik rakyat, tapi justru membuat rakyat menjadi transaksional. Ini satu dari sekian banyak kegagalan berpolitik, yang seyogyanya menjadi satu cita-cita yang meng haruskan lahirnya konsensus. Tidak sebatas jualan saat kampanye parpol, tim sukses dan kandidat seringkali lupa dan menjadi “seolah-olah”.

Politik itu bukan seolah-olah akan tetapi politik itu adalah value, etika, dan accountability, sehingga perlu.untuk mewujudkannya lewat pemaknaa politik yang tidak sekedar pencitraan. Parpol dan elit politik penting untuk berdamai dengan kepentingan rakyat melalui proses consensus politik.

Olehnya itu, rakyat tidak menyerahkan kesetiaannya kepada elit yang seringkali membohonginya, akan tetapi rakyat menunggu pelaksanaan consensus bukan janji politik yang terkadang hanya ada dalam ruang gelap, dimana rakyat semakin terarah dalam permusuhan pada ruang-ruang demokrasi.

 

Penulis  : Andi Muslimin, S.Ip (Mahasiswa Pasca Sarjana UMJ)

Editor : Redaksi

Comment