Wajah Bangsa di Dunia Pendidikan Indonesia

Opini105 views

Oleh : Evi Indria (Wartawan Media Online)

Bagai pungguk merindukan bulan, itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan bagaimana wajah dunia pendidikan di Indonesia.

Pendidikan memiliki tugas menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas agar kelak bermanfaat membangun bangsa, Pendidikan adalah ukuran suatu bangsa, apakah bangsa itu maju atau mundur, sebab pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Bagi suatu bangsa pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan, sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seperti sandang pangan, dan papan, Namun, sangat memprihatinkan melihat kondisi Pendidikan di Indonesia saat ini.

Berbagai masalah pun timbul, mulai dari sarana yang tidak memadai, biaya pendidikan yang masih cukup mahal akibatnya anak putus sekolah, pengajar yang kurang profesional dan kurikulum yang gonta-ganti akibatnya Kualitas pelajar yang masih kurang atau rendah, sampai kepribadian peserta didik yang jauh dari yang diharapkan, bahkan Undang-Undang Pendidikan yang perlu penyempurnaan dan perubahan (tahun 2004 nama Kementerian Pendidikan saja yang mengurus dunia pendidikan, pada tahun 2012 dirubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Termasuk kecilnya alokasi anggaran untuk pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Wajah buruk pendidikan kita, Pertama, paradigma pendidikan nasional. Kedua, mahalnya biaya pendidikan. Diakui atau tidak sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah sistem pendidikan yang memisahkan peranan agama dari kehidupan. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab ke VI tentang jalur jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus.

Adanya pembagian pendidikan umum dan keagamaan yang terdapat pada pasal tersebut memberikan gambaran bahwasanya pendidikan kita memang dikotomi. Pendikotomian pendidikan melalui kelembagaan dapat terlihat dari pendidikan agama terdapat pada madrasah-madrasah, institut agama, dan pesantren. Dan lembaga-lembaga tersebut dikelola oleh Departemen Agama.

Sementara pendidikan umum melalui Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, Kejuruan, serta Perguruan Tinggi dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan seperti ini tentu saja tidak akan melahirkan peserta didik ayang memiliki kemamapuan menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi sekaligus juga memiliki kepribadian berupa perilaku yang mulia.

Padahal tujuan pendidikan nasional sendiri adalah untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Saat ini mungkin tidak sedikit dari output peserta didik kita yang berhasil menguasai sains dan teknologi melalui pendidikan umum, namun tidak sedikit diantara mereka yang kurang memiliki kepribadian yang mulia. saat ini ukuran kelulusan peserta didik hanya dinilai dari Ujian Nasional (UN) saja, artinya para peserta didik hanya ditujukan untuk menguasai materi saja tanpa nilai spiritualnya.

Disisi lain, mereka yang belajar di pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan secara relatif memiliki kepribadian baik, tapi tidak sedikit diantara mereka yang buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern seperti perdagangan, industri, jasa dan lain-lain diisi oleh orang yang relatif awam terhadap agama.

Oleh karenanya Penuntasan masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah ataupun tindakan yang berfisat menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikan anggaran saja akan tetapi kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu Pendidikan di Indonesia harus terus ditingkatkan.

Diantaranya adalah Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan Tahun yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana dan prasarana pendidikan sering ditemui terbengkalainya program wajib belajar Sembilan tahun tersebut mengakibatkan anak-anak didik banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar Sembilan tahun.

Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang sangat signifikan termasuk singkronisasi antara pendidikan umum dan pendidikan agama maka akan sulit bagi bangsa Indonesia menuju Cita-cita bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Idealnya dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bangsa bisa menikmati bangku sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa memandang status sosial karena hal ini merupakan salah satu hak mereka dalam bidang pendidikan yaitu belajar. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam bangku pendidikan tanpa harus terjadi sebuah ketidakadilan sosial.

Namun, pada kenyataannya hal tersebut sulit untuk diterapkan. Bahkan sebuah kalimat “Pendidikan yang Berkualitas itu Mahal” bisa menjustifikasi masyarakat untuk lebih cenderung berfikir bahwa untuk mengenyam dunia pendidikan yang benar-benar memiliki kualitas itu mahal. Itulah sebab masyarakat lebih memilih untuk tidak bersekolah karena harus mengeluarkan biaya yang begitu mahal.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau bahkan lebih tepatnya lagi tidak harus murah atau gratis. Tetapi prsoalannya siapa yang seharusnya membayar semua ini? pasti kita akan menuding pemerintah-lah yang memiliki kewajiban atas semua persoalan ini untuk menjamin bahwa setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin lari dari tanggung jawab.

Tak hanya itu, oleh dunia Internasional pun telah disepakati dan dideklarasikannya Hari Aksara Internasional yang jatuh pada setiap tanggal 8 September. Hal ini dimaksudkan untuk memberantas buta aksara di seluruh dunia hingga ke pelosok sekalipun. Tetapi untuk Indonesia sendiri apakah semua program pendidikan yang telah dicanangkan berjalan dengan mulus? Bahkan hal ini diindikasi tak pernah dijalankan sama sekali.

Mulai dari program wajib belajar Sembilan tahun, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hingga perealisasian dana dari APBD untuk pendidikan sesuai amanat Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 serta UU Pendidikan yang mengatur alokasi dana pendidikan minimal 20 persen.

Mulai dari tahun 1965 hingga tahun 2012 sekarang ini program pemberantasan buta aksara di Indonesia masih saja tak bisa dituntaskan padahal program ini sudah diadakan puluhan tahun lamanya. Pendidikan, baik formal maupun non formal memegang peranan penting dalam upaya pemberatasan buta aksara dengan memajukan taraf berpikir dan kebudayaan rakyat, dan negara bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan sebagai hak dasar bagi seluruh rakyatnya.

Hal ini telah tertuang jelas dan tegas dalam pasal 13 Konvenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, demikian pula dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 49 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Persoalan demikian siapa yang jelas bersalah dan dimana letak semua persoalan ini lalu bagaimana jalan yang harus ditempuh untuk mengurangi atau menuntaskan kemacetan dalam dunia pendidikan yang sudah puluhan tahun terjadi ini?

Perkembangan dunia di era globalisasi sekarang ini banyak menuntuk perubahan lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus dilakukan Bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan Negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan terlebih dahulu terutama menjangkau dunia pendidikan di tempat yang tidak terjangkau karena, dengan meningkatkan kualitas pendidikan itu sama dengan sumber daya manusia yang terlahir nantinya akan mampu membungkus mutu yang baik hingga mampu membawa bangsa Indonesia bersaing dalam segala bidang di dunia Internasional.

Comment