Oleh: Sadikin Tamrin Tobona (Ketua Umum SOMASI PAMANUSA (Solidaritas Mahasiswa Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara Nusa Tenggara Timur-Barat Dan Sulawesi)
Dinamika berbangsa dan bernegara di Indonesia selama satu decade terakhir tampak mengalami banyak perubahan yang mendasar dan yang paling faktual yang kita saksikan adalah adanya peningkatan kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam aspek penting dari pengelolaan Negara, sebagian orang menyebut sebagai fenomena penguatan proses demokrasi. Proses demokrasi ini pula yang antara lain diyakini bias membawa perbaikan pada kehidupan ekonomi, social dan politik (ekosop). Namun sangat disayangkan hal ini belum sepenuhnya terjadi sebab kenyataannya perbaikan ekonomi tak kunjung terwujud seperti yang diharapkan misalnya kemiskinan di Indonesia mulai dari sabang sampai merouke yang belum tuntas diselesaikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, Negara adalah sebuah realitas politik yang nyaris diterima sebagai suatu pemberian. Kecenderungan ini terjadi karena negara yang diketahui dan dialami setiap hari itu seakan-akan berada di luar kesadaran manusia. Pada tingkat individual, Negara baru dirasakan keberadaannya mana kala ia berbenturan dengan kekuasaan. Ada sebuah realitas kekuasaan di luar dirinya, yang berada pada atmosfer publik, namun cukup berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Dari kekuasaan dan legitimasi dalam wacana politik, kenyataan itu kita sebut sebagai realitas kekuasaan Negara dalam masyarakat
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani Kuno, ‘eugemonia’. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah) saja. Hegemoni dapat didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompoklainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang di diktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).
Masih teringat dalam benak pikiran bahwa reformasi yang telah berusia 18 tahun, usia yang terbilang mudah jika dikomparasikan dengan usia manusia, dengan usia yang masih remaja tersebut, tentunyamasih ada tekad untuk menaruh sepercik harap anak cita-cita serta tujuan kelahirannya. Tetapi yang menjadi pertanyaan. Masikah tersisa spirit reformasi dan nasionalisme yang rasional ditengah situasi dan kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang terindikasi penyakit alias kurang sehat ini?
Kembali keinti persoalan, iklim dan kelembaban republic yang mulai bersemi, pasca tumbangnya rezim orde baru (ORBA), ternyata tidak lah berarti bahwa rezim Orba sudah terbumikan, wacana reformasi yang kerap didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga sekarang ini juga ternyata tidak lah lantas memberikan hasil yang positif bagi rakyat banyak. Wacana reformasi kini hanya menjadi retorika semata dan cerita dongeng yang setiap hari diperdengarkan khususnya kepada generasi muda intelektual, tetapi deficit arah dan tujuan pencapaian reformasi kini mati suri.
Reformasi yang harapannya bertujuan membangun sisitem politik demokratis, kenyataan yang muncul dilapangan justru tak berjalan mulus dan menemui kendala serius baik yang bersifat cultural maupun structural. Tampak jelas beberapa agenda reformasi tak dapat direalisasikan dengan baik dan bijaksana, sementara gerakan reformasi itu sendiri telah berbelok arah tanpa panduan yang jelas bahkan telah kehilangan ruh perjuangan. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa kini ada kecenderungan kekuatan lama mulai bangkit lagi. Jika diidentifikasi kekecewaan dan frustasi social (disfungsi sosial) akibat kegagalan gerakan reformasi dalam membangun demokrasi itu meliputi beberapa sector pokok yaitu, ekonomi, politik, dan social yang penuh dengan benalu dan membawa implikasi luas dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Ditahun 2016 ini, keadaan semakin kurang sehat. Desentralisasi yang semula diharapkan menciptakan balan ce of fower dan pemerataan, malah melahirkan firaun-firaun kecil yang siap dan tegas bersinggungan dengan kepentingan masyarakat lokal, yang lebih memperihatinkan lagi politik oligarki semakin hari kian menancapkan kuku liarnya, selain itu pengangguran masih menjadi pemandangan sehari-hari, angka kemiskinan masih meningkat, biaya pendidikan semakin mahal, penguasaan asing atas SDA semakin jelas dikelopak mata.
Berdasarkan salah satu dari sekian banyak problem kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah diuraikan diatas. Maka sudah saatnya untuk mengakhiri trem prespektif hegomoni barat dan timur di Negara Indonesia guna menuju Indonesia yang modern yaitu Indonesia yang memiliki kesadaran harkat kemanusiaan untuk hidup bersama dalam kemajemukan untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam masa depan satu visi dan harapan kemasa depan yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Comment