Pancasila sebagai dasar negara yang disepakati oleh para faunding father kita dengan sangat kontemplatif dan logic, merumuskan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dengan desain multikulturalisme dan pluralisme haruslah didasari oleh ideologi yang pluralis dan multikulturalis pula. Artinya Pancasila adalah Ideologi yang terbuka sebab obyeknya dan subyeknya memang sangat majemuk.
Artinya sebagai ideologi terbuka, Pancasila memang merupakan dasar negara yang bisa saja ditafsirkan oleh mazhab pemikiran apapun tidak hanya dalam domain Indonesia tetapi juga termasuk mazhab pemikiran yang ada didunia ini. Sehingga tidaklah mengherankan jika Pancasila bisa muncul dengan wajah yang berbeda dijaman dan waktu tertentu.
Artinya, di satu Jaman dan waktu tertentu menampakkan wajah yang lembut dan bersahaja, tetapi diruang dan waktu yang lain bisa menampakkan wajah beringas dan pemangsanya.
Hal tersebut bahkan terbukti dalam realitas perjalanan sejarah keIndonesiaan kita sejak merdeka 1945 hingga hari ini. Dijaman orde lama misalkan, Soekarno menafsirkan Pancasila sebagai dasar yang mengakomodir beberapa basis pemikiran yang berbeda bahkan terkesan saling menegasikan yang berkembang pada saat itu. Paham-paham pemikiran tersebut adalah Nasionalis, Sosialisme, Agama dan Komunis. Soekarno berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran untuk mempertemukan dan mempersatukan ideologi-ideologi tersebut dengan nama, sifat dan perbuatan yang diberinya label “Pancasila”.
Beliau berpandangan bahwa ideologi-ideologi tersebut sama-sama atau tidak berbeda dalam hal memandang nilai substansial ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tetapi upaya yang dilakukan Soekarno ternyata justru telah mengubur hidup-hidup cita-citanya tersebut setelah lengser dari jabatannya ditahun 1967. Sebab dalam kenyataannya, keempat paham pemikiran di atas merupakan entitas politik yang selalu vis a vis dalam percaturan politik perebutan kekuasaan. Dimana masing-masing dari paham pemikiran tersebut selalu berusaha dan berupaya untuk mendominasi dan menghegemoni yang lain, sehingga pada tahap yang tidak bisa ditolerir, keempatnya kadang kala harus saling membantai demi, untuk dan atas nama Pancasila.
Sedangkan dijaman orde baru, Soeharto menginterpretasi Pancasila sebagai asas tunggal yang identik dengan sistem militer yang hanya mengkultuskan prinsip relasi dominan dan sub-ordinat. Beliau menafsirkan Pancasila sebatas paham kultural dan politik yang identik dengan feodalisme dan otoritarianisme. Bahwa Pancasila hanya identik dengan kredo patronase politik yang menekankan pentingnya kepatuhan sosial, ekonomi, politik hukum dan pendidikan dari kalangan awam atau masyarakat umum terhadap pemerintah atau penguasa.
Pada posisi demikian, ditemukan perbedaan yang sangat mendalam antara Pancasila di jaman orde lama dan orde baru, dimana kedua jaman tersebut membawa identifikasi Pancasila yang saling menegasikan. Bahwa jika dijaman orde lama, Pancasila lebih bersifat pluralis, dan akomodatif terhadap perbedaan paham pemikiran dan menilai dari sudut pandang nilai substansial yang terkandung di dalam mazhab pemikiran masing-masing, maka di jaman orde baru Pancasila justru menampilkan wajah yang kurang bersahabat dengan perbedaan dan pluralitas.
Pancasila adalah asas tunggal yang tidak bisa mengakomodir dan mengakomodasi sesuatu (paham atau ideologi lain) selain dirinya. Rezim orde baru berpikiran bahwa identitas Pancasila terletak pada interpretasi ketunggalan asas dalam dirinya yang tidak boleh diintervensi apalagi diinterupsi oleh mazhab pemikiran lain termasuk mazhab keagamaan sekalipun.
Pancasila Di Jaman Reformasi Dan Demokratisasi
Atas fakta sejarah yang menggelikan dan menyeramkan di masa orde baru yang menginterpretasikan Pancasila dalam desain asas tunggal yang tidak bisa di interupsi apalagi diintervensi oleh paham pemikiran selain paham pemikiran pemerintah atau penguasa, dibawah kendali Soeharto.
Maka pasca tumbangnya rezim orde baru tersebut, para pemikir politik, hukum dan budaya di Indonesia yang diberi label reformis akhirnya berbondong-bondong mendekonstruksi dan merekonstruksi ulang Pancasila yang telah dimateraikan oleh rezim Soeharto tersebut.
Dengan prinsip egaliter, freedom, dan liberal dengan harapan lahir sebuah tatanan reformasi yang pasti dan konkret terhadap masa depan cita-cita kenegaraan sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi” melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam mewujudkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dengan dalih dan dalil tututan dan tantangan zaman serta derasnya arus demokratisasi yang melanda negara dunia ketiga khususnya kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara atas budi baik negara adidaya (Amerika Serikat dan sekutunya) atas kekangan paham komunisme, akhirnya para pemikir kenegaraan dan kebangsaan kita pasca orba kemudian menginterpretasi Pancasila dengan format liberalisme dan pluralisme dalam tataran teoritis.
Sebuah desain ketatabangsaan dan kenegaraan yang identik dengan Deklaration of indefendence Amerika. Bahwa semua segi dan sudut kebangsaan dan kenegaraan kita, mulai dari agama, politik, hukum, budaya dan pendidikan haruslah berdasar pada kebebasan dan pluralisme.
Sedangkan dalam tataran praktis, Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga negara Indonesia adalah kredo kebangsaan dan kenegaraan yang tidak bisa diganggu gugat.
Dalam format sistem politik misalnya, setiap warga negara entah kompeten (Intelektual, emosional dan spritual) atau tidak, dan entah bermartabat atau tidak, memiliki HAM untuk menjadi calon legislaif, Yudikatif dan Eksekutif.
Sementara kita tahu bahwa disatu sisi format sistem politik demokrasi yang mengkultuskan suara terbanyak dalam menentukan pemimpin politik dan pemerintahan, sangat tergantung pada sokongan modal yang memadai untuk mendesain strategi, tehnik dan taktik politik untuk mempengaruhi mayoritas masyarakat yang wam pengetahuan politik agar menjadi konstituennya.
Sementara disisi yang lain marketing politik yang telah berkembang sedemikian rupa (maraknya konsultan politik) karena desakan derasnya perkembangan teknologi informasi, menuntut dunia politik untuk mendapatkan lisensi media (cetak dan eletronik) untuk menampilkan citra dan image sang calon pemimpin yang mayoritas dikamuflase.
Bahwa sudah menjadi rahasia umum jika calon pejabat publik di republik ini di poles dalam dunia image yang serba transaksional. Sebab, dalam dunia image dan citra media, manusia munafik dan kafir politik sekalipun bisa disulap menjadi imam dan ulama yang seolah ma’sum dari segala noda dan dosa politik.
Atas tampilan telanjang wacana politik di atas, maka kita kemudian mendeteksi bahwa basis kenegaraan dan kebangsaan kita (Pancasila) telah ditafsirkan oleh para pemburu rente kekuasaan untuk mereduksi nilainya dalam desain politik yang kering dan tandus dari identitas spiritualnya.
Belum lagi misalnya kalau kita menyibak tabir sistem ekonomi dan hukum yang telah diterapkan di negara kita selama bertahun-tahun. Bahwa dari sisi luar saja, ekonomi neo-liberalisme dan sistem hukum eropa kontinental yang kita adopsi dan terapkan dewasa ini sudah sangat jauh dari identitas spiritual bangsa Indonesia yang menghendaki penciptaan tatanan ekonomi dan hukum yang berlandaskan atas distribusi yang seimbang atau setimbang.
Sebab, ruang keadilan hukum dan ekonomi hanya bisa terisi secara merata bagi warga negara jika dan hanya jika distribusi sumber ekonomi dan hukum tidak tersendat atau tersumbat oleh kecongkakan dan kerakusan manusia.
Fakta empiris dalam rumah ke Indonesiaan kita dewasa ini telah menunjukkan bagaimana sistem ekonomi dan hukum kita hanya melahirkan para mafia yang siap menjual keadilan dengan sekeping rupiah dan sebuah kursi kekuasaan. Penyakit kawanan pejabat publik (KKN) yang lahir dari kecongkakan tatanan ekonomi di atas semakin terlegitimasi dengan tampilan hukum yang sarat dengan hukum rimba.
Akhirnya yang tercipta kemudian adalah krisis kepercayaan publik terhadap tatanan ekonomi dan hukum. Maraknya budaya main hakim sendiri, munculnya budaya koin peduli dan jual beli pasal dilapangan hukum serta menjamurnya calo di semua lahan ekonomi mulai dari terminal hingga lahan parkir gedung pemerintah merupakan salah satu dari sekian banyak contoh yang bisa menunjukkan betapa bangsa kita telah kehilangan nilai spiritualnya yang berketuhanan.
Pancasila telah lama terpenjara oleh tirai besi ideologi luar (liberalisme dan komunisme) yang menjadikannya tahanan rumah. Seolah-olah bebas dan terbuka, padahal kenyataannya tidak.
Pancasila Memiliki Identitas Spiritual Sendiri
Sebagai bangsa dan negara Indonesia, seharusnya kita bersyukur bahwa dasar negara kita tidak pernah memberikan ruang kepada warganya untuk tidak mengakui eksistensi ketuhanan dan nilainya. Sehingga segala segi dan sudut hidup dan kehidupan tidak bisa dipisahkan dari yang namanya nilai ketuhanan.
Artinya dengan dasar itulah, Indonesia mutlak memiliki identitas spiritualnya sendiri, yang tentunya berbeda dari ideologi negara barat dan sebagian negara timur yang memberikan ruang bagi para pengganruh atheisme dan materialisme.
Pancasila adalah sebuah format dasar kehidupan berbangsa yang sarat dengan nilai agama dan ketuhanan, bukan format kenegaraan dan kebangsaaan yang mencoba menjauhkan agama dan ketuhanan dari rumah keindonesiaan. Sedemikian rupa sehingga yang dimaksud dengan pancasilaisme adalah paham yang menjalankan segala aktifitas hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara (ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan dan budaya) berdasarkan bingkai nilai agama dan ketuhanan (ketauhidan).
Apa yang kita terapkan dewasa ini dalam desain kehidupan berbangsa dan bernegara kita jelas-jelas telah menyelingkuhi nilai pancasila di atas. Parahnya karena kita senantiasa mengatasnamakan pancasila dalam menggoalkan kepentingan para penjarah pancasila (sekularisme, liberalisme, konservatisme, ekstrimisme dan elitisme).
Bahwa merupakan sebuah fakta mulai dari domain politik hingga pendidikan kita dewasa ini, semuanya menegasikan pancasila sebagai basis kenegaraan. Penyanderaan terhadap Pancasila oleh ideologi lain dengan telanjangnya menghantam segala sendi kenegaraan kita.
Bayangkan saja kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, ketika peraturan perundang-undangan berbasis eksklusifisme keagamaan bersetubuh menikam jiwa ketuhanan yang maha esa, lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan menginterupsi bahkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab,
Trilogi penyakit kawanan negarawan (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan penciptaan dinasti kekuasaan dari pemerintah pusat (geo-politik O) hingga daerah (geo-politik pribumi) serta klaim kebenaran tunggal komunitas masyarakat tertentu turut melemahkan persatuan kebangsaan, demokrasi liberal prosedural dalam pemilihan umum dengan segala variannya membunuh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) berjamaah menjarah keuangan rakyat, penegak hukum menciderai asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan efek jera. Ekspansi neoliberalisme, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin meluas dan melebar yang turut pula turut menjegal keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan justru berlawanan dengan arah jarum jam kemerdekaan sesungguhnya, rakyat dibawah pada periode pra-politik saat terkungkung dalam hukum besi sejarah penjanjahan kolonial.
Untuk mengembalikan kiprah dan kejayaan Pancasila sebagai basis identitas spiritual kebangsaan dan kenegaraan yang telah lapuk dimakan rayap peradaban dominasional ideologi lain, maka hanya ada satu cara yang bisa kita lakukan yakni kembali keajaran tauhid.
Mari berpolitik berdasarkan konsep ketauhidan, menggelola perekonomian dengan konsep ketauhidan, menjalankan kinerja hukum dan keadilan berdasarkan ketauhidan, mengelola pendidikan dengan ketauhidan, mengekspresikan budaya berdasarkan nilai ketauhidan, mengamalkan relasi sosial berdasarkan ketauhidan, menjalankan pemerintahan berdasarkan ketauhidan dan akhirnya menjadi bangsa dan negara yang menjadikan tauhid sebagai pandangan hidupnya.
Konsep di atas jelas merupakan antitesis dari konsep sekularisme yang selama ini digembor-gemborkan kaum reformis disatu sisi dan merupakan penegasian atas sikap eksklusifisme beragama yang melulu menafsirkan agama hanya sebatas wilayah ritualitas dan simbolisme secara partial. Serta sangat jauh berbeda dari paham liberalisme dan komunisme yang dikultuskan barat sebagai satu-satunya ideologi politik, hukum, agama, budaya dan pendidikan yang boleh mendapatkan atensi berlebih dari saraf pikir, mental dan spiritual umat manusia di dunia.
Akhirnya, mari mengembalikan vitalitas Pancasila sebagai dasar negara yang memiliki nilai spiritualitasnya sendiri sebagai sensi atau batasan yang tegas untuk memperingatkan paham pemikiran lain khususnya (liberalisme dan komunisme) bahwa Pancasila adalah sebuah dasar negara yang Final dan Paripurna dalam skop negara moderen yang menjadikan ketauhidan sebagai way of life-nya.
Penulis : Subiran Paridamos S.Ip, M.Ik
(Pendiri Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) UMJ, Dan Sekolah Peradaban Jurnalis Indonesia)
Comment